
DENPASAR, BALIPOST.com – Pansus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) DPRD Provinsi Bali menyerahkan dokumen 106 sertifikat tanah bermasalah di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai dan mangrove kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali serta Polda Bali, Senin (29/9) sore.
Penyerahan dokumen dilakukan seusai rapat yang berlangsung hampir 5 jam, di ruang rapat gabungan lantai III Gedung DPRD Bali.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha menegaskan, rapat kali ini menghasilkan kesepakatan penting, yaitu gerakan bersama lintas sektor untuk mengembalikan fungsi konservasi di wilayah pesisir Bali.
Menurutnya, fungsi mangrove harus dikembalikan sebagai kawasan lindung agar tetap mampu menyerap air, menyalurkan limpasan hujan ke laut, serta melindungi daratan dari gerakan air laut. Sebagai langkah awal, Pansus menyerahkan dokumen terkait penerbitan 106 sertifikat di kawasan Tahura kepada aparat penegak hukum. Sertifikat tersebut dinilai bermasalah karena terbit di wilayah konservasi Tahura Ngurah Rai.
“Yang kami serahkan dokumen 106 sertifikat, dan dokumen-dokumen lainnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah pesisir mangrove, dan kemudian dokumen-dokumen lainnya terkait terindikasi pelanggaran tata ruang perizinan dan aset di seluruh Bali,” ungkap Supartha.
Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali ini menyebut secara regulasi jelas tidak boleh wilayah konservasi disertifikatkan. Baik melalui konversi maupun pemberian hak. Proses penerbitan pun diduga sarat pelanggaran karena tidak disertai pengumuman ke masyarakat sebagaimana mestinya.
“Kalau pemberian hak itu artinya tanah negara dulunya, tanah negara itu kemudian dikuasai 20 tahun baru diberikan sertifikat. Pertanyaannya, apakah orang bisa hidup di mangrove 20 tahun? Kalau dia nelayan mungkin, tapi kalau dia bukan nelayan dikasih sertifikat, nah itu terindikasi sudah pelanggaran,” tegasnya.
Di luar masalah 106 sertifikat, Pansus juga menemukan kasus lain di kawasan yang beririsan dengan mangrove. Termasuk lahan seluas 60 are, 70 are, hingga 28 are yang disewa pabrik manufaktur milik investor Rusia di Tahura Bypass Ngurah Rai. Kasus ini disebut masih dalam pendalaman dan bisa dibatalkan jika terbukti dokumen perizinannya tidak sah.
Disinggung bangunan apa yang beridiri di lahan dari 106 sertifikat itu digunakan sebagai apa, Supartha mengungkapkan sebagian besar sudah beralih fungsi untuk kegiatan industri maupun perdagangan. Untuk itu, DPRD Bali sepakat dengan DPRD yang ada di Denpasar dan Badung akan mengevaluasi rencana detail tata ruangnya (RDTR). Sebab, tidak boleh ada perbedaan antara RDTR kabupaten/kota dengan tata ruang provinsi maupun undang-undang nasional. Menurutnya, jika tata ruang provinsi menyatakan wilayah tersebut sebagai kawasan konservasi, maka RDTR di tingkat bawah harus menyesuaikan.
Selain itu, ia juga menyebut berbagai pelanggaran tata ruang yang harus juga dicermati seperti pembangunan di sempadan sungai, danau, dan pantai yang jelas-jelas dilarang. Ia menegaskan aturan sudah mengatur batas sempadan, 100 meter dari laut, 50 meter dari danau, dan 5 meter dari sungai. Karena itu, pihak kejaksaan dan kepolisian bersama Satpol PP telah mengambil langkah hukum.
Ia mencontohkan, beberapa pengembang di kawasan Tukad Balian, Renon, bahkan sudah ditutup karena menyalahi aturan ruang terbuka hijau, lahan sawah dilindungi (LSD) dan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pansus, lanjutnya, berkomitmen menjalankan arahan Gubernur Bali Wayan Koster dalam konsep “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” dengan menjaga tata ruang, perizinan, dan aset agar tidak disalahgunakan.
Sementara itu, Kejati Bali juga telah resmi memulai penyelidikan terkait dugaan penerbitan sertifikat bermasalah di kawasan konservasi. Termasuk 106 sertifikat di wilayah Tahura yang menjadi sorotan publik ini. Penyelidikan dilakukan untuk menguji ada tidaknya perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, atau potensi kerugian negara dalam proses penerbitan sertifikat tersebut.
Kasi Pengendali Operasi pada Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Bali, Dr. A.A. Ngurah Jayalantara, menjelaskan saat ini proses pengumpulan data sedang berlangsung. “Sudah dimulai pengumpulan data, baru dimulai pengumpulan data. Ini kan gayung bersambut jadi di sini kan lengkapi dulu,” ucapnya pada saat hadir dalam rapat tersebut.
Menurut Jayalantara, tim kejaksaan masih mendalami apakah terdapat indikasi pelanggaran hukum atau penyalahgunaan kewenangan dalam kasus tersebut. Ia menambahkan, masa penyelidikan dibatasi 30 hari dan dapat diperpanjang bila diperlukan. Penyelidikan ini sudah berjalan sekitar dua minggu terakhir. Sejumlah pihak yang dianggap relevan dengan proses pemberian izin juga telah dimintai keterangan.
Namun, ketika ditanya siapa saja yang sudah di periksa dan berapa jumlahnya, Jayalantara belum dapat memberikan informasi karena masih tahap penyelidikan lebih dalam. “Sudah, bukan saksi ya, permintaan keterangan beberapa pihak. Ada beberapa, ya yang berkaitan dengan proses pemberian izin” kata Jayalantara.
Meski sorotan utama publik tertuju pada 106 sertifikat di Tahura, Kejati Bali mengakui juga memperluas penyelidikan ke sejumlah kabupaten lain. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa praktik serupa tidak terjadi di daerah lain.
Ketika ditanya apakah kasus ini berpotensi masuk ranah tindak pidana korupsi, Jayalantara menyebut analisis masih berjalan.
Langkah Kejati Bali yang mulai melakukan penyelidikan terkait dugaan penerbitan sertifikat di kawasan konservasi mendapat dukungan dari berbagai kalangan. Proses hukum dinilai menjadi momentum penting untuk membongkar praktik penyimpangan tata ruang yang sudah berlangsung sejak lama.
Pakar hukum, Prof. Lanang Perbawa, menegaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam penerbitan sertifikat di kawasan konservasi harus bertanggung jawab. Ia menilai aspek administrasi maupun pidana bisa diuji sesuai koridor hukum.
“Kalau misalnya di administrasi sudah prosesnya harus tadi secara formal materi tidak perlu bisa dibatalkan. Kalau masalah pidana silakan juga itu ruang pidana. Jadi semua yang melakukan perbuatan hukum harus bertanggung jawaban secara hukum,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Pemilu ini menekankan, apabila dalam proses tersebut terbukti ada abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan, maka pihak yang terlibat wajib dimintai pertanggungjawaban. Ia juga mempertanyakan bagaimana mungkin kawasan Tahura yang jelas-jelas merupakan milik negara bisa diterbitkan sertifikat hak milik.
Ketua Fraksi Gerindra-PSI DPRD Bali, I Gede Harja Astawa, menyebut langkah aparat penegak hukum (APH) yang mulai bergerak merupakan terobosan yang patut diapresiasi. Menurut Harja, Bali memang terbuka bagi investor, namun investasi yang diterima harus memiliki rekam jejak yang baik dan tidak merusak lingkungan. Ia menegaskan pansus dibentuk karena adanya urgensi besar yang harus segera diselesaikan. Masa kerja pansus ini yang hanya enam bulan diharapkan cukup untuk memberikan dampak nyata bagi penegakan hukum tata ruang, perizinan, maupun aset daerah.
Sementara itu, Ketua Fraksi Demokrat-Nasdem DPRD Bali, Dr. Somvir, menekankan pentingnya menjaga sumber daya alam Bali sebagai kunci untuk menjamin kehidupan masyarakat yang aman dan damai di masa depan. “Saya kira apa yang kemarin kita harapkan bahwa bagaimana Bali 100 tahun ke depan bisa aman, damai, dan hal-hal itu baru bisa kalau hutan kita, air kita, laut kita, sawah kita itu bisa dijaga dengan baik,” katanya.
Somvir menambahkan, instansi terkait sudah menyatakan komitmen untuk mengambil langkah yang benar dalam menangani persoalan ini. Ia berharap proses penegakan hukum bisa berjalan tegas terhadap pihak yang bersalah, sekaligus tetap melindungi pihak yang tidak bersalah. (Winata/Balipost)