Kejati Bali melakukan penandatangan MoU/PKS dengan Pemerintah Provinsi Bali tentang Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial Bagi Pelaku Pidana, di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Rabu (17/12). (BP/win)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali melakukan penandatangan Memorandum of Understanding/Perjanjian Kerja Sama (MoU/PKS) dengan Pemerintah Provinsi Bali tentang Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial Bagi Pelaku Pidana, di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Rabu (17/12). Penandatanganan disaksikan langsung oleh Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Dr. Undang Mugopal, S.H., M.Hum. Acara juga dihadiri seluruh bupati/walikota se-Bali dan Kejati se-Bali.

Kepala Kejati Bali, Dr. Chatarina Muliana, S.H.,S.E.,M.H., mengatakan penanda tanganan kerja sama ini bukan sekadar formalitas administratif belaka. Namun, ini merupakan komitmen nyata untuk menerapkan pidana kerja sosial sebagai bagian dari sistem peradilan dan pidana yang lebih humanis, efektif, dan restoratif.

Menurutnya, pidana kerja sosial memberikan peluang bagi pelaku untuk memperbaiki kesalahannya sembari menghasilkan manfaat bagi masyarakat serta mengurangi beban pidanaan yang murni, yang bersifat retributif.

Dalam pelaksanaan pidana kerja sosial, diungkapkan kejaksaan dan pemerintah daerah memiliki peran yang saling melengkapi. Kejaksaan bertanggung jawab memastikan penerapan hukum yang adil dan konsisten, sementara pemerintah daerah memfasilitasi pelaksanaan teknis, pembinaan, dan penyediaan sarana serta kesempatan kerja sosial yang aman dan bermanfaat.

Ia menegaskan beberapa hal penting yang harus menjadi pijakan bersama dalam MoU/PKS ini. Pertama, pastikan setiap tahap-tahap dari penetapan putusan, penugasan, pelaksanaan, hingga pelaporan memiliki mekanisme administratif yang jelas dan terdokumentasi sehingga mudah diaudit.

Baca juga:  Jasad Pendaki di Gunung Abang Ditemukan Gunakan Drone

Kedua, pelaksanaan kerja sosial harus menjunjung martabat pelaku, disertai pembinaan yang mendorong perubahan sikap dan reintegrasi sosial, bukan eksploitasi atau stigma.

Ketiga, lokasi dan jenis kerja sosial harus diiris sedemikian rupa. Sehingga, hasilnya memberi nilai tambah kepada komunitas penerimaan, seperti perbaikan fasilitas umum, kegiatan lingkungan, dan pelayanan sosial yang terasa manfaatnya oleh masyarakat setempat.

Keempat, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat setempat harus dilibatkan aktif, menyediakan lokasi, pembinaan teknis, serta pengawasan sosial sehingga program berjalan efektif dan diterima oleh masyarakat.

Kelima, semua sumber daya, material, dan penugasan harus dipertanggung jawabkan secara terbuka. “Kita perlu dimonitoring bersama antara kejaksaan, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan untuk mengevaluasi dampak dan kepatuhan terhadap standar hukum dan hak asasi manusia,” ujarnya.

“Kepada para Kepala Kejaksaan Negeri, saya titipkan pelaksanaan yang konsisten dan penuh integritas. Koordinasikan aparat penegak hukum lain dan pemerintah daerah setempat. Pastikan ketika putusan dan pengawasan pelaksanaan pekerjaan sosial terlaksana sesuai ketentuan,” pesannya.

Baca juga:  Eksekusi Sujena, JPU Siapkan Panggilan Kedua

Pihaknya juga berterima kasih kepada bupati/wali kota se-Bali atas kesiapan menjadi mitra operasional. Baginya, peran pimpinan daerah akan sangat menentukan keberhasilan program ini. Dari penyediaan lokasi dan fasilitas, pembinaan teknis, hingga perlindungan keselamatan kerja para pelaku. Hubungan konkrit akan meningkatkan legitimasi dan efektivitas pidana kerja sosial.

“Pada rekan-rekan masyarakat dan media, kami mengajak partisipasi dan pengawasan konstruktif. Pidana kerja sosial adalah upaya restoratif yang memerlukan hukuman sosial agar proses pembinaan dan reintegrasi sosial berjalan dengan baik,” tandasnya.

Lebih lanjut dikatakan penandatanganan ini adalah awal dari tanggung jawab bersama. Diharapkan kerjasama ini menghasilkan pelaksanaan pidana kerja sosial yang adil, efektif dan memberi manfaat nyata bagi korban, bagi pelaku, dan bagi masyarakat luas. “Kejaksaan Tinggi Bali berkomitmen hadir sebagai penjamin kepastian hukum dan mitra dalam mewujudkan tujuan hukum,” tegasnya.

Gubernur Bali, Wayan Koster mengapresiasi MoU/PKS pelaksanaan pidana kerja sosial sebagai instrumen hukum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Menurut saya, itu (pelaksaan pidana kerja sosial,red) sangat bagus. Ketimbang dia (pelaku,red) kena hukum dikenakan di penjara. Karena kalau hukuman di penjara, sebagian dari orang di penjara itu menikmati dia. Menikmati ada di penjara Menikmati ada di penjara makan gratis,” ujar Gubernur Koster.

Baca juga:  Bale Dangin Milik Warga di Peninjoan Terbakar Dini Hari

Koster mengungkapkan bahwa pidana kerja sosial sejatinya sudah diberlakukan disejumlah desa di Bali. Seperti, yang diberlakukan di desa kelahirannya, yaitu Desa Tejakula, Buleleng yang sangat kuat adabnya sampai saat ini.

Saat masih kecil, Gubernur Koster menyaksikan langsung mengenai pembuatan sanksi berdasarkan hukum adat di Desa Sembiran ini. Dan rata-rata desa tua tua di Bali ini memiliki sistem hukum adat yang lengkap. Mulai dari awig-awig hingga perarem sesuai dresta desa adat masing-masing. Bentuk sanksi sosialnya juga beragam. Ada yang tugasnya disuruh bersih-bersih selama sekian bulan di pura. Ada juga yang dikenakan hukuman denda beras sekian kuintal. Ada juga yang dikenakan hukuman setiap pagi harus wara-wiri di sepanjang jalan desa.

“Dan macam-macam lagi. Tiap desa punya aturannya sendiri, namanya dresta. Dresta desa. Jadi masing-masing dia punya. Ini yang diterapkan. Dan menurut saya, itu sangat bagus. Ketimbang dia kena hukum dikenakan di penjara,” ujar Koster. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN