Aksi pemasangan seng lanjutan di lahan pertanian Jatiluwih oleh sejumlah petani. (BP/Istimewa)

TABANAN, BALIPOST.com – Meski pemerintah daerah telah menyatakan keberpihakan kepada petani Jatiluwih melalui kebijakan pembebasan pajak lahan hingga 0 persen serta komitmen menyerap hasil produksi pertanian lokal, namun puluhan lembar seng dan plastik yang terpasang di area persawahan Jatiluwih hingga kini belum dibuka.

Para petani menegaskan, langkah itu baru akan dilakukan setelah segel penyegelan resmi dicabut oleh pihak provinsi.

Wayan Subadra, salah satu petani Jatiluwih, mengatakan keputusan pemerintah Kabupaten Tabanan tersebut sangat diapresiasi. Menurutnya, pembebasan pajak lahan seharusnya telah dilakukan sejak lama, mengingat geliat pariwisata di kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) Jatiluwih selama ini belum memberikan kesejahteraan memadai bagi petani.

Baca juga:  Polisi Tertibkan Puluhan Truk Parkir Badan Jalan

“Keputusan ini jelas kami sambut baik. Seharusnya begini dari dulu, bantu kami supaya bisa sejahtera, jangan hanya dijadikan penonton saja,” ujarnya, Senin (8/12).

Namun Subadra menegaskan, sebelum segel dicabut, petani belum bersedia membuka seng dan plastik yang dipasang di lahan.

Ia menambahkan, pertemuan dengan Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya telah memberi ruang dialog yang baik. Petani meminta agar pemerintah mencarikan solusi terbaik tanpa memperpanjang ketegangan.

“Yang penting kami sudah dipertemukan dengan pemerintah daerah dan kami minta agar segera bisa dicarikan solusi terbaik,” jelasnya.

Baca juga:  Aksi Pemasangan Seng di Jatiluwih Berlanjut, Warga Desak Pemerintah Buka Dialog

Terkait tindak lanjut penertiban, Subadra mengungkapkan bahwa Satpol PP Provinsi Bali memang sudah mulai melakukan pemanggilan bertahap kepada pelaku usaha akomodasi yang disegel akibat pelanggaran kawasan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

“Rencananya baru tiga akomodasi dulu yang dipanggil. Mudah-mudahan persoalan ini selesai dan saya tidak sampai dipanggil juga,” harapnya.

Ia juga meminta kepastian agar status lahannya tidak lagi dikategorikan sebagai pelanggaran. “Saya hanya punya satu lahan sawah itu saja, di sanalah rumah saya. Saya bangun sejak 2010,” jelasnya.

Sementara itu, Bendesa Adat Jatiluwih I Wayan Yasa menegaskan bahwa desa adat terus berupaya mencari titik temu agar citra Jatiluwih tetap terjaga. Ia mengakui pemasangan seng dan plastik di sejumlah titik lahan turut menimbulkan dampak terhadap nama desa. Karena itu, pihaknya berharap proses pencabutan segel oleh provinsi dapat dipercepat.

Baca juga:  Percepat Vaksinasi, Polresta Jemput Bola Sasar Lansia

“Sebagai wakil masyarakat adat, kami ingin menjaga nama desa. Aksi pemasangan seng tentu berimbas pada citra Jatiluwih. Kami berjuang menenangkan masyarakat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi di sisi lain, kami berharap provinsi segera membuka garis segel sambil mencari solusi terbaik bersama instansi terkait,” tegasnya. (Puspawati/balipost)

BAGIKAN