
DENPASAR, BALIPOST.com – Wakil Bupati Tabanan, I Made Dirga hadir dalam rapat yang digelar Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan DPRD Bali dengan 13 pemilik usaha di Jatiluwih yang dinilai melanggar aturan pada Jumat (19/12) di Kantor DPRD Bali.
Pada kesempatan ini, I Made Dirga juga mengungkapkan bahwa Jatiluwih sebagai WBD belum sepenuhnya bisa dinikmati oleh petani. Sebab, hasil pertanian mereka tidak sebanding dengan kerja mereka.
“Kalau kita ngomongin hasil pertanian di Jatiluwih, tentunya perlu diketahui bahwa Jatiluwih itu enak dipandang tetapi hasilnya sangat jauh daripada yang sebenarnya harapan kita. Di sana, di Jatiluwih itu beda dengan sawah-sawah di tempat lain. Di tempat lain itu luas-luas sawahnya dan gampang untuk kita mengerjakan. Kalau di Jatiluwih itu beda. Maka dari itu kalau kita bandingkan dengan daerah yang di tempat lain itu satu berbanding sepuluh kira-kira. Dengan pekerjaan yang begitu sulit, pada akhirnya dipanen itu hasilnya tidak sesuai dengan harapan daripada masyarakat,” ungkapnya.
Atas alasan inilah, Dirga mengatakan petani di sana membangun akomodasi pariwisata yang dinyatakan melanggar ini. Pada awalnya, Dirga mengakui mereka berusaha mencari izin. Namun, mereka tidak mendapatkan izin karena memang tidak diperbolehkan membangun di area kawasan Jatiluwih.
“Ketika dia tidak dapat izin tetap membangun kita membiarkan. Nah disinilah kira-kira sama-sama mempunyai kekurangan ini, bukan masyarakat saja kita juga di pemerintah kurang. Maka dari itu, apa yang harus kita lakukan ke depan untuk selanjutnya saya harapkan kepada semua masyarakat ada di sana, apapun kebijakan dari provinsi ini harus kita hormati dan tetap untuk memohon yang terbaik untuk masyarakat,” ujarnya.
Sekda Tabanan, I Gede Susila menambahkan bahwa langkah penertiban yang dilakukan pemerintah daerah tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berangkat dari adanya peringatan serius yang datang dari UNESCO terkait kondisi kawasan Jatiluwih.
“Kami sampaikan bahwa ini muncul karena ada ancaman-ancaman dari UNESCO untuk membatalkan status Warisan Budaya Dunia di Jatiluwih. Dari situ pimpinan daerah mengambil sikap, bahwa pemerintah daerah berkomitmen penuh untuk tetap melestarikan WBD,” ujar Susila di hadapan Pansus TRAP.
Ia menekankan, kehadiran status WBD telah memberikan dampak nyata bagi pariwisata dan ekonomi daerah. Tanpa status tersebut, Jatiluwih diyakini tidak akan menjadi destinasi unggulan seperti saat ini.
“Kalau tidak ada WBD, seperti disampaikan Pak Wakil Bupati tadi, tamu-tamu mungkin tidak akan hadir. Karena inilah destinasi, ikon Jatiluwih, ikon Catur Angga Warisan Budaya Dunia,” katanya.
Susila menjelaskan, melalui tim pengawasan internal tata ruang (ITR), pemerintah daerah melakukan pendataan terhadap bangunan-bangunan di kawasan Jatiluwih yang dinilai bertentangan dengan ketentuan tata ruang dan prinsip WBD. Dari proses tersebut, ditemukan 13 usaha akomodasi yang dinilai melanggar.
Dalam kurun waktu penanganan, pemerintah daerah telah mengirimkan surat peringatan (SP) 1, 2, hingga 3 kepada para pelaku usaha. Menurutnya, sebagian besar masyarakat dan pelaku usaha bersikap kooperatif selama proses tersebut berlangsung.
“Dalam perjalanan SP 1, 2, 3 ini, masyarakat kami sangat operatif. Kami memberikan ruang kepada mereka untuk menyampaikan apa yang mestinya harus dilakukan. Tetapi kalau itu tidak kami lakukan, berarti pemerintah daerah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran UNESCO. Itu yang tidak kami inginkan,” tegas Susila.
Ia juga menekankan karakter unik Jatiluwih sebagai warisan budaya dunia yang berbasis lanskap hidup, bukan semata-mata benda cagar budaya. Objek utama WBD Jatiluwih adalah sawah dan petani, bukan bangunan fisik.
“Jatiluwih ini obyeknya sawah dan orangnya, yaitu petani. Beda dengan warisan budaya lain seperti Borobudur yang berbentuk benda. Kalau sawahnya tidak dikerjakan oleh petani, tentu ini tidak akan menjadi warisan budaya dunia,” ujarnya.
Menurut Susila, jika kondisi sawah dan kehidupan petani dibiarkan tanpa perlindungan dan kesejahteraan yang memadai, maka petani berpotensi meninggalkan sektor pertanian. Dampaknya, sawah akan terbengkalai dan status WBD terancam hilang secara otomatis.
“Kalau hasil sawah tidak bisa menghidupi masyarakat, petani akan beralih pekerjaan, sawah ditinggalkan, dan otomatis kawasan Catur Angga ini tidak mungkin lagi menjadi warisan budaya dunia,” jelasnya.
Di sisi lain, Pemkab Tabanan menyadari perlunya solusi yang berimbang antara penegakan aturan dan perlindungan terhadap masyarakat. Susila menyampaikan bahwa Bupati Tabanan telah menyiapkan kebijakan konkret berupa pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) atas lahan sawah di kawasan Subak Jatiluwih mulai tahun 2026.
“Ini sudah kami bahas, sebagai bentuk kebijakan daerah. Tetapi yang lain memang belum bisa kami berikan. Karena itu kami berharap ada insentif dari provinsi atau pusat untuk mendukung kesejahteraan petani di kawasan WBD ini,” katanya.
Ia juga menyoroti belum optimalnya sinkronisasi pengawasan WBD di Bali, baik antara pemerintah provinsi maupun kabupaten. Menurutnya, perlu kejelasan peran dan pembagian kewenangan agar pengawasan tidak berjalan parsial.
“Selama ini belum ada sinkronisasi yang jelas, siapa melakukan apa dalam pengawasan WBD di Bali. Kami berharap ke depan semua pihak berpihak kepada masyarakat, tanpa mengabaikan perlindungan kawasan,” pungkas Susila. (Ketut Winata/balipost)










