Agung Bagus Pratiksa Linggih. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mengusulkan agar dilakukan reformasi terhadap sistem perizinan Online Single Submission (OSS).

Sebab, selama ini sistem perizinan tersebut telah menyebabkan berbagai persoalan. Mulai dari ketidaksinkronan norma pusat dan daerah, lemahnya verifikasi izin, hingga dampaknya terhadap kemandirian ekonomi masyarakat Bali.

Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih mendukung upaya Pemprov Bali mereformasi sistem perizinan OSS berbasis risiko itu. Sebab, selama ini sistem perizinan OSS memberikan jalan bagi penanam modal asing (PMA) untuk bersaing langsung dengan UMKM lokal Bali.

“Saya setuju untuk menaikkan basis risiko itu, karena PMA bersaing langsung dengan UMKM,” ujarnya, Sabtu (11/10).

Sebagai bentuk dukungan, beberapa bulan lalu politisi Partai Golkar ini, bahkan sudah meminta surat resmi terkait upaya ini dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali agar dapat diteruskan ke Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (Kemeninveshil/BKPM) untuk mengajukan kenaikan basis risiko PMA di Bali. Dan saat ini surat tersebut dalam proses kajian dari Universitas Udayana (Unud).

Baca juga:  Bangli Belum Ada Rencana Longgarkan Jam Operasional Pasar

“Sebelumnya juga sudah ada pendekatan dengan BKPM oleh Kadis Pariwisata sebelumnya. Jadi prosesnya masih terus kita atensi,” ungkapnya.

Bagi Praktiksa Linggih, ketika pemerintah daerah dilibatkan dalam sistem perizinan OSS, setidaknya pelanggaran tata ruang bisa diminimalisir dan UMKM bisa dilindungi dari pesatnya perkembangan PMA di Bali.

Sementara itu, dalam rapat koordinasi evaluasi OSS yang dipimpin Gubernur Bali, Wayan Koster, pada Rabu (8/10) menghasilkan sejumlah usulan strategis yang akan disampaikan ke pemerintah pusat dan DPR RI. Gubernur Koster menegaskan akan membawa langsung usulan konkret tersebut ke pusat dan DPR.

Baca juga:  Srikandi PDI Perjuangan Gianyar Raih Suara Fantastis, Melaju ke DPRD Bali

Beberapa usulan tersebut, yakni sinkronisasi norma OSS dengan regulasi daerah (RTRW dan RDTR). Pengembalian kewenangan verifikasi izin kepada pemerintah daerah. Klasifikasi ulang sektor usaha, terutama pariwisata dan perdagangan modern, menjadi risiko menengah atau tinggi.

Kenaikan ambang modal PMA untuk daerah padat investasi seperti Bali. Hak koreksi daerah terhadap izin yang melanggar tata ruang atau berkembang melebihi kapasitas. Dan pemberian kewenangan daerah menentukan bidang usaha yang sudah jenuh.

“OSS yang terlalu tersentralisasi ini sudah tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah. Semua kendali ada di pusat, daerah hanya jadi penonton. Kita harus ubah norma-normanya supaya daerah punya ruang untuk menjaga keberlanjutan ekonomi dan budaya Bali,” ujar Gubernur Koster

Baca juga:  Dana Desa Adat Mulai Cair, Ini Wanti-wanti untuk Tokoh Adat!

Gubernur Koster menyampaikan komitmennya untuk membawa hasil pembahasan ini langsung ke pemerintah pusat dan DPR RI. “Masalah utamanya bukan teknis, tapi normatif. OSS dalam bentuk sekarang telah mengambil alih kewenangan daerah dan menimbulkan banyak korban di lapangan,” katanya.

Koster menegaskan bahwa Bali sebagai daerah yang sudah matang investasinya, membutuhkan skema kebijakan khusus agar pengelolaan ruang dan investasi tidak menimbulkan ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan. “Saya akan sampaikan langsung ke kementerian dan DPR agar norma dan pasal-pasal yang bermasalah disesuaikan. Bali tidak menolak investasi, tapi harus ada keberpihakan yang jelas pada ekonomi rakyat,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN