Dua wisatawan mancanegara (wisman) berjalan-jalan di Taman Janggan, Denpasar. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Resah di pengujung tahun. Kondisi ini menjadi potret tata kelola pariwisata Bali ketika kunjungan wisatawan yang dinanti tak sesuai harapan. Namun, banyak kalangan berharap jauh dari kesan pesimis, mestinya semua pihak kini mengevaluasi kondisi dan fakta terkait pergerakan pariwisata Bali yang terlalu dominan atas sektor lainnya.

Penyelamatan ruang hijau akibat masifnya alih fungsi lahan, tingginya kejahatan dan kemacetan yang tak kunjung terurai merupakan beban pengelolaan pariwisata Bali. Kini, polemik soal sampah juga menjadi promosi buruk soal Bali. Data menunjukan rata-rata 1.700 hektare lahan setiap tahun beralih fungsi, dengan konsentrasi terbesar terjadi di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Gianyar. Dari jumlah itu, sekitar 400 hingga 500 hektare berada di wilayah Denpasar.

Menyikapi kondisi ini, Guru Besar Universitas Warmadewa Prof. Dr. Drs. Anak Agung Gede Oka Wisnumurti, M.Si. berpandangan Bali semestinya segera berbenah terkait dengan tata kelola pariwisatanya. Moratorium pembangunan akomodasi pariwisata mutlak harus dilakukan.

Tidak saja moratorium hotel dan vila, moratorium pembangunan diskotek dan beach club juga harus dilakukan.

Ia mengingatkan pariwisata Bali adalah pariwisata berbasis budaya. Bagaimana aspek pengembangan pariwisata berbasis budaya ini yang harus menjadi nilai substantif dalam konteks pelaksanaan pembangunan kepariwisataan Bali.

Jangan sampai dalam upaya memenuhi daya dukung infrastruktur dan fasilitas pariwisata bertentangan dengan aspek budaya. “Menurut saya, upaya-upaya untuk melakukan pengaturan kembali, apakah itu bentuknya moratorium termasuk proses perizinan, termasuk bagaimana pemanfaatan alam dam lingkungan Bali, saya pikir ini sangat mendesak dilakukan. Bali kini overload utamanya berkaitan dengan fasilitas pariwisata yang tidak sesuai dengan nilai dan budaya masyarakat Bali,” tandas Prof. Wisnumurti.

Prof. Wisnumurti mengakui bahwa pascapandemi Covid-19 wisatawan yang datang ke Bali tidak diseleksi dengan ketat. Sehingga, wisatawan yang tidak berkualitas dengan mudahnya masuk ke Bali. Bahkan, beberapa di antara mereka mencari pekerjaan di Bali dengan menggunakan visa liburan. Untuk itu, harus segera dilakukan seleksi terhadap wisatawan yang masuk ke Bali.

“Jika tidak dikukan seleksi maka yang akan hadir ke Bali tidak saja wisatawan berkelas, tetapi wisatawan yang kemungkinan di negara asalnya mengalami kesulitan ekonomi, pengangguran, kemudian mereka memilih Bali yang dikenal murah, mudah untuk mereka berwisata dan bahkan mereka melakukan aktivitas ekonomi yang melanggar visa mereka. Menurut saya, yang perlu diatur sebenarnya adalah kehadiran wisatawan itu yang memang harus diseleksi sedemikian rupa sebagaimana kita berwisata ke negara lain,” ujarnya.

Pengaturan Perizinan OSS

Pengamat Pariwisata Unwar, Dr. I Made Suniastha Amerta, S.S., M.Par. mengatakan  ketika moratorium hotel, penghentian alih fungsi lahan, dan pengaturan perizinan OSS (Online Single Submission) dilakukan, maka pariwisata akan lebih terkendali. Dikatakan, selama ini aplikasi OSS berada di bawah Kementerian Investasi/BKPM. Sarana ini membantu dalam memangkas birokrasi namun berbasis risiko dari rendah, menengah rendah, menengah tinggi, dan tinggi.

Ketika sebuah akomodasi wisata memiliki kamar 1-100 pintu, restoran 1-100 kursi, dan luas bangunan 4.000 meter maka menjadi kewenangan kabupaten/kota. Ketika kamar memiliki 101-200 pintu, restoran 101-200 kursi, dan luasan bangunan 6.000-10.000 meter menjadi kewenangan provinsi. Dan selebihnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Baca juga:  Jika Lunasi Denda, Ini Perhitungan Akhir Masa Tahanan Jerinx

Oleh karena itu, Bali ingin saat ini tata kelola pariwisatanya diperbaiki dahulu. Dimana, nantinya Pemprov Bali diberi kewenangan ketika ada yang hendak melakukan pembangunan agar diperiksa terlebih dahulu.

“Bali kan one island, biar kami melakukan monitoring evaluasi semuanya untuk mengendalikan pembangunan, selama ini kan setelah kasus baru viral baru lah tahu ternyata kewenangan kabupaten atau pusat,” sebutnya.

Ia mengakui karut marutnya pengelolaan pariwisata di Bali kini menjadi sorotan banyak pihak. Upaya untuk menyelamatkan pariwisata di Bali mendesak dilakukan. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pariwisata, melestarikan budaya, dan menciptakan lapangan pekerjaan lokal.

Sebab, pasca pandemi Covid-19 pariwisata Bali lebih mementingkan kuantitas dibandingkan kualitas. Sehingga, kehadiran wisatawan yang tidak berkualitas ini telah menimbulkan sejumlah masalah, seperti kejahatan, pembangunan berlebihan, dan persaingan dalam mendapatkan pekerjaan.

Pihaknya mengakui bahwa akhir-akhir ini orang asing yang tinggal di Bali sering memunculkan masalah seperti keterlibatan dalam geng narkoba, melakukan bisnis illegal, pelanggaran etika, serta kriminalitas lainnya. Tindakan mereka ini perlu diatensi dan segera diurai sumber permasalahannya oleh stakeholder pariwisata Bali.

Berdasarkan data dari pihak Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar, hingga 13 November 2025 tercatat ada 153 WNA yang sudah dideportasi. 153 WNA itu berasal dari 49 negara. Paling banyak dari Rusia, berjumlah 28 orang lanjut dari Amerika Serikat dan disusul negara lainnya.

Ia mengatakan fenomena ini tidak hanya merusak citra Bali sebagai destinasi wisata yang aman, nyaman, dan menarik untuk dikunjungi, tetapi juga mengancam kesejahteraan masyarakat lokal. Kondisi ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan penegakan hukum yang perlu segera ditangani oleh berbagai pihak terkait.

Oleh karena itu, beberapa poin kritis yang perlu diperhatikan, antara lain peningkatan pengawasan dan penegakan hukum. Otoritas setempat perlu meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas wisatawan asing yang tinggal dalam jangka waktu lama di Bali.

Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran seperti narkotika dan bisnis ilegal harus dilakukan tanpa pandang bulu. Tindakan ini tidak hanya berfungsi sebagai pencegahan tetapi juga memberikan pesan kuat bahwa Bali tidak toleran terhadap kegiatan kriminal.

Poin kritis berikutnya adalah peningkatan kerjasama Internasional. Mengingat bahwa pelaku kejahatan sering kali memiliki jaringan internasional, kerjasama dengan negara asal para pelaku serta organisasi internasional sangat penting. Hal ini bisa mencakup pertukaran informasi intelijen, ekstradisi pelaku, dan kampanye bersama untuk meningkatkan kesadaran akan dampak dari kejahatan tersebut.

Peningkatan edukasi dan kampanye awareness (kesadaran) juga penting dilakukan. Pemerintah dan stakeholder pariwisata terkait bisa bekerja sama untuk mengedukasi masyarakat tentang cara melaporkan aktivitas mencurigakan dan pentingnya menjaga keamanan komunitas. Pemeriksaan ketat terhadap izin tinggal dan bisnis orang asing juga sangat penting dilakukan.

Otoritas imigrasi harus melakukan pemeriksaan yang lebih ketat terhadap izin tinggal dan izin usaha yang diberikan kepada wisatawan asing. Mereka yang ditemukan melanggar hukum atau menyalahgunakan izin mereka harus segera ditindak dan dideportasi jika diperlukan.

Baca juga:  Korban Pohon Tumbang, Satu Orang Kakinya Hancur

Poin berikutnya adalah membangun sistem pengawasan komunitas. Mengembangkan sistem pengawasan berbasis komunitas dapat membantu dalam mendeteksi kegiatan ilegal sejak dini. Komunitas lokal, termasuk pecalang dan kelompok masyarakat lainnya, bisa diberdayakan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam memantau dan melaporkan kegiatan mencurigakan.

“Stakeholder pariwisata Bali perlu bekerja sama untuk menegakkan langkah-langkah ini guna memastikan bahwa Bali tetap menjadi tujuan wisata yang aman, nyaman, dan dihormati, serta melindungi kesejahteraan masyarakat lokal. Dengan pendekatan yang terkoordinasi dan tegas, berbagai permasalahan orang asing ini bisa diatasi dan mencegah dampak negatif lebih lanjut terhadap industri pariwisata dan masyarakat Bali,” tegas Suniastha.

Otsus Pariwisata Bali Kembali Mencuat

Di lain pihak, wacana otonomi khusus (Otsus) pariwisata Bali kembali mencuat. Otsus ini dinilai bisa memberikan pemerintah Bali untuk membuat aturan yang lebih spesifik dan fleksibel terutama terkait investasi pariwisata dan perlindungan lingkungan. Mengingat, hingga saat ini aturan terkait ijin investasi antara pemerintah pusat dengan daerah masih tumpang tindih yang menimbulkan masalah. Salah satu contohnya terkait pembangunan lift kaca di Kelingking Beach, Nusa Penida yang melanggar sejumlah ketentuan, sehingga harus dibongkar.

Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih mengatakan adanya Otsus Pariwisata bisa memberikan pemerintah Bali untuk membuat aturan yang lebih spesifik dan fleksibel. Terutama terkait investasi pariwisata dan perlindungan lingkungan. Terlebih budaya Hindu Bali ini sangat unik di dunia yang memerlukan aturan ketat demi konservasi budaya. “Memang untuk menjaga daya saing Bali dengan destinasi wisata lain di dunia, perlu adanya Otsus Pariwisata,” jelasnya.

Namun demikian, Politisi Golkar ini mengatakan proses otsus ini mungkin rumit dan lama. Sehingga, menurutnya lebih cepat dan mudah kalau ada amandemen atau revisi UU Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan dan bagi hasil pajak daerah yang lebih besar untuk provinsi-provinsi dengan kontribusi sektor spesifik yang dominan. Seperti, Bali yang dominan dengan pariwisatanya.

Merespons hal ini, Pengamat Pariwisata Unwar, Dr. I Made Suniastha Amerta, S.S., M.Par menilai wacana Otsus Pariwisata Bali yang muncul setelah berbagai kasus degradasi lingkungan seperti pembangunan lift kaca yang dinilai merusak keindahan alam dan lingkungan di Kelingking Beach, Nusa Penida patut dipertimbangkan. Munculnya ide ini merupakan respons atas kegagalan tata kelola pariwisata Bali selama ini. Namun, gagasan ini perlu dibedah secara kritis agar tidak berhenti sebagai slogan politik atau romantisme budaya.

Menurutnya, pertama otsus pariwisata mungkin diperlukan, tetapi bukan sekadar untuk mengelola pariwisata, melainkan untuk mereformasi relasi kuasa dan tata kelola antara pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga desa adat. Salah satu masalah utama di Bali yaitu fragmentasi kebijakan.

Pariwisata dikendalikan oleh banyak aktor, mulai dari aturan nasional, perizinan administratif melalui OSS, sampai desa adat yang menjaga kawasan sakral. Akibatnya, terjadi kekosongan kewenangan yang dimanfaatkan oleh pasar dan investor, bukan oleh masyarakat.

Kedua, otsus hanya akan efektif jika dibarengi tata kelola yang transparan, partisipatif, dan berbasis riset. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, otonomi khusus berpotensi menciptakan “elite capture”. Di mana kebijakan menguntungkan segelintir pemilik modal dan jaringan politik, bukan masyarakat lokal atau ekosistem budaya.

Baca juga:  Semua Elemen Harus Jaga Kondusivitas Bali di Pilkada Serentak

Ketiga, harus dipahami bahwa pariwisata Bali bukan sekadar ekonomi, tetapi ekosistem budaya, spiritual, dan ekologis. Oleh karena itu, otsus harus menempatkan budaya bukan sebagai komoditas wisata, melainkan sebagai kerangka nilai yang membatasi eksploitasi ruang, sumber daya, dan identitas. Jika tidak, Bali hanya akan memperhalus wajah pariwisata massal dengan label “cultural tourism”.

Keempat, pengalaman Nusa Penida jelas menunjukkan bahwa pasar tidak akan pernah mengatur dirinya sendiri. Infrastruktur terabaikan, carrying capacity diabaikan, dan keselamatan pengunjung sering dikorbankan demi viralitas media. Ini seharusnya menjadi pelajaran bahwa tanpa kontrol penuh terhadap perijinan, zonasi, pajak wisatawan, dan pengelolaan destinasi, pariwisata Bali akan terus bergerak menuju titik jenuh ekologis.

Kelima, otsus juga harus menjawab pertanyaan fundamental “Pariwisata Bali untuk siapa?” Apakah untuk wisatawan? investor? pemerintah? atau masyarakat adat yang sejak awal menopang eksistensi Bali melalui nilai harmoni Tri Hita Karana?

“Jadi, wacana Otonomi Khusus Pariwisata Bali bisa menjadi momentum koreksi sejarah dengan mengembalikan kendali pariwisata kepada masyarakat Bali, bukan pasar global. Namun, tanpa desain kebijakan yang berbasis data, governance yang akuntabel, serta perlindungan kuat terhadap ruang hidup dan nilai-nilai Bali, otonomi khusus berpotensi menjadi sekadar narasi tanpa transformasi,” tandasnya.

Ia menegaskan bahwa Bali tidak hanya membutuhkan otonomi khusus. Namun, Bali membutuhkan kebijaksanaan dalam menggunakan otonomi itu untuk menjaga manusia, alam, dan budaya/adat Bali yang berkelanjutan.

Di lain pihak, Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan bahwa Bali tidak membutuhkan status otonomi khusus yang selama ini diusulkan oleh beberapa pihak. Menurutnya, Bali sudah memiliki keistimewaan yang cukup, terutama dalam bidang budaya dan pariwisata.

“Menurut saya, kita jangan lagi ada nomenklatur otonomi khusus,” ujar Koster dalam sambutannya pada acara Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi dalam rangka Harmonisasi Kewenangan Pusat dan Daerah melalui Evaluasi Implementasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, di Benoa, Badung, Kamis (6/11) lalu.

Tak Perlu Otsus, Tapi Kewenangan Khusus

Koster menekankan bahwa Bali lebih membutuhkan kewenangan untuk mengatur hal-hal khusus yang relevan dengan karakteristik daerahnya. Ia berharap, kewenangan tersebut dapat diberikan oleh negara, tanpa perlu adanya status otsus.

“Tidak perlu otonomi khusus, tapi dia (Bali,red) diberikan kewenangan untuk mengatur hal-hal yang sifatnya khusus, kan beda,” tambah Koster.

Menurut Koster, Bali memerlukan dukungan anggaran untuk pemajuan kebudayaan, mengingat karakter budaya dan pariwisatanya yang sangat kuat. Namun, saat ini regulasi yang ada cenderung hanya mengakomodasi daerah yang memiliki kekayaan alam, seperti tambang dan sumber daya alam lainnya, melalui alokasi dana bagi hasil.

Selain itu, Koster juga mengingatkan pentingnya pembangunan infrastruktur dan peningkatan keamanan untuk mendukung pariwisata Bali. Ia mengungkapkan, dengan meningkatnya jumlah wisatawan, kebutuhan akan infrastruktur yang baik serta peningkatan keamanan menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN