
DENPASAR, BALIPOST.com – Peringatan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember menjadi momentum refleksi atas peran perempuan, khususnya para ibu, dalam ruang pengambilan kebijakan di Bali.
Peran ibu dalam politik tidak hanya soal keterwakilan angka di parlemen atau kursi dewan, tetapi tentang bagaimana perspektif pengasuhan, pendidikan, dan perlindungan keluarga hadir dalam setiap kebijakan publik.
Anggota Komisi IV DPRD Bali, Ni Wayan Sari Galung yang membidangi pendidikan, persoalan perempuan dan anak, adat, budaya, serta pemuda dan olahraga, menegaskan peran ibu merupakan fondasi utama dalam membangun ketahanan keluarga sekaligus masyarakat.
Menurutnya, nilai-nilai keibuan justru menjadi kekuatan ketika perempuan terlibat aktif dalam politik. “Ibu adalah penguatan bagi keluarga untuk melindungi anak-anaknya. Walaupun kita berpolitik, tetap bagaimana kita mengasuh dan memberikan edukasi kepada anak-anak, khususnya di dalam keluarga,” ujar Sari Galung ditemui di Kantor Gubernur Bali, Senin (22/12).
Ia menilai, pengalaman perempuan sebagai ibu memberi sudut pandang yang berbeda dalam merumuskan kebijakan, terutama yang menyangkut pendidikan, perlindungan anak, dan penguatan nilai adat serta budaya. Perempuan, menurutnya, tidak bisa dipisahkan dari peran pengasuhan, meskipun berada di ruang publik sebagai politisi.
“Bagaimana kita berperan sebagai politisi, sebagai ibu rumah tangga, sebagai pimpinan, itu semua saling berkaitan. Jadi, saling menguatkan, saling memberi edukasi kepada anak-anak, khususnya pada anak-anak kita untuk memberikan yang terbaik bagi pendidikannya untuk masa depannya,” katanya.
Srikandi yang berasal dari PDIP ini juga menyoroti tantangan pengasuhan di era digital. Menurutnya, kemajuan teknologi tidak boleh menggantikan peran ibu dalam mendampingi tumbuh kembang anak.
Justru di tengah derasnya arus digitalisasi, peran ibu semakin krusial agar anak tidak kehilangan arah.
“Di era kekinian ini berat sebagai seorang ibu. Kita tidak bisa hanya berpangku pada digital. Anak-anak harus diasuh secara serius supaya tidak melenceng ke ranah yang lain. Jadi, para Ibu itu harus lebih bisa memberikan pengasuhan dan perhatian kepada anak-anak. Di era ini kita harus lebih waspada dengan keluarga, dengan anak-anak juga. Perhatian kita harus lebih terkhusus. Jadi, jangan sampai kita hanya berhura-hura dengan keadaan sekarang, apalagi dengan digitalisasi,” ujarnya.
Ia menekankan perhatian dan kasih sayang dalam keluarga harus menjadi prioritas, terutama di tengah perubahan sosial yang cepat. Jika tidak, rumah justru berisiko kehilangan fungsi utamanya sebagai ruang aman bagi anak. “Jangan sampai kita hanya menikmati keadaan sekarang, sementara di rumah tidak ada kasih sayang dan perhatian. Itu menjadi PR kita bersama,” tegasnya.
Dalam konteks Bali yang kuat dengan adat dan tradisi, Sari Galung menilai perempuan khususnya ibu dituntut mampu membagi waktu antara kewajiban adat, keluarga, dan aktivitas politik. Namun, ia optimistis hal tersebut bisa dijalankan dengan pengaturan waktu dan komitmen yang kuat.
“Kalau ada adat-istiadat, tentu kita atur waktunya. Untuk anak, kita bisa sisipkan waktu di hari libur. Jadi politik, ibu rumah tangga, dan menyama-braya itu bisa berjalan beriringan,” lanjutnya.
Sementara itu, srikandi dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Anastasia Surya Widjaja, melihat peran ibu dalam politik dari sudut pandang yang tak kalah penting, yakni bagaimana nilai empati dan keseimbangan hadir dalam pengambilan keputusan daerah. Sebagai anggota Komisi II DPRD Bali yang membidangi perekonomian dan keuangan, Grace menilai kehadiran perempuan membawa perspektif kehati-hatian dan keberpihakan pada keberlanjutan.
Menurut Grace, pembahasan mengenai keterwakilan perempuan di parlemen seharusnya tidak berhenti pada target kuota 30 persen, melainkan pada kualitas peran yang dijalankan. Ia menyebut, meski secara jumlah perempuan di DPRD Bali masih di bawah 30 persen, kontribusi mereka tetap signifikan.
“Secara pencalonan, partai-partai termasuk PSI sudah memenuhi 30 persen perempuan. Tapi keterpilihan mereka di dalam surat suara, di dalam satu dapil itu tergantung dari warga untuk memilih peran perempuan tersebut,” sebutnya.
Ia menjelaskan, dari total 55 anggota DPRD Bali periode 2024–2029, saat ini hanya 10 kursi yang diisi perempuan. Namun, Grace menilai angka tersebut tidak boleh mengerdilkan peran perempuan dalam proses legislasi dan pengawasan. “Kalau dilihat dari jumlah kursi memang belum 30 persen. Harapan saya dengan adanya perempuan-perempuan yang semakin maju semakin bisa menerima kegiatan politik,” terangnya.
Ia berharap, ke depan semakin banyak perempuan yang berani terjun ke dunia politik tanpa meninggalkan identitas dan peran keibuannya. Menurutnya, politik tidak harus menghilangkan peran perempuan sebagai ibu, justru sebaliknya bisa saling menguatkan. “Nanti di tahun 2029 akan banyak lagi perempuan-perempuan yang bisa mengisi kursi parlemen, itu harapan saya,” harapnya.
Sebagai informasi, pada periode 2024–2029, terdapat 10 legislator perempuan yang duduk di DPRD Provinsi Bali.
Mereka adalah Sari Galung (PDIP) dari Dapil Denpasar, Kadek Darmini politisi PDIP yang terpilih dari Dapil Karangasem, Ni Luh Yuniati (PDIP) dari Dapil Gianyar, Putu Diah Pradnya Maharani (PDIP) dari Dapil Gianyar, Anak Agung Paramita Dewi (PDIP) dari Dapil Denpasar, Ni Made Sumiati (PDIP) dari Dapil Badung, Ni Made Usmantari (PDIP) Dapil Tabanan. Kemudian ada Ni Putu Yuli Artini (Partai Golkar) dari Dapil Karangasem, IGA Mas Sumatri (Partai NasDem) dari Dapil Karangasem dan Grace Anastasia Surya Widjaja (PSI) dari Dapil Denpasar. (Ketut Winata/balipost)









