Suasana di Pasar Anyarsari, Batukandik, Denpasar. (BP/kmb)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – Permen untuk sesajen atau banten yang sering digunakan umat Hindu Bali untuk upacara diduga berasal dari bahan-bahan yang reject viral di media sosial.

Pantauan di salah satu pasar yang ada di Denpasar, harga permen ini memang jauh lebih murah daripada permen bermerk pada umumnya yang dijual di pasaran.

Permen banten ini di Pasar Anyarsari (Batukandik) dijual Rp 2.000 satu bungkusnya. Isinya sekitar 25 biji.

Harga ini hampir sepertiga dari harga permen bermerk yang dijual Rp 7.000 hingga Rp 10.000 per bungkusnya untuk jumlah isian yang tidak berbeda jauh.

Salah seorang pedagang canang di Pasar Anyarsari, Bu Nyoman saat ditemui, Jumat (25/7) mengatakan, untuk keperluan banten dirinya hanya menjual permen banten dengan harga Rp2.000 per bungkus. Selain permen banten ada juga rokok banten yang isinya 10 pax. “Ini banyak yang nyari untuk banten. Kalau permen biasa, ndak jual,” ungkapnya.

Baca juga:  Wat Phra That Doi Suthep, Kuil Buddha yang Megah di Chiang Mai

Sementara itu, seorang pedagang kelontong yang juga menjual jajanan anak-anak, Ni Ketut Ladri mengatakan, ia menjual permen bermerk pada umumnya secara eceran. Harga jual permen yakni Rp1.000 untuk 4 biji atau Rp250 per biji. Per bungkus dia mengaku harganya mencapai Rp7.000 hingga Rp10.000 tergantung merk.

Diakui keduanya, banyak umat Hindu yang menggunakan permen sebagai sarana tambahan pada canang, terutama saat Purnama maupun Tilem dan piodalan. Namun, penggunaannya bukan hal yang wajib tergantung keinginan dan keyakinan masing-masing umat Hindu.

Baca juga:  Kenaikan Jumlah Pasien Positif Mingguan Cukup Tinggi, PPKM Diminta Jadi Upaya Tekan Laju Kasus

Sebelumnya, beredar di media sosial sebuah usaha perumahan milik seorang warga asal Kebumen, Jawa Tengah memproduksi permen sesajen dengan label “Mahardewa Agung, Permen Sajen Banten”.

Bahan baku permen sesajen tersebut berupa permen tidak layak edar (reject) dari Jakarta. Ironisnya, permen sesajen tersebut dikirim ke Bali dalam jumlah besar, sekitar 7 ton sekali kirim.

Meski diklaim tidak untuk dikonsumsi, kenyataannya permen itu masuk dalam perangkat sesajen umat Hindu yang setelah dihaturkan kerap di-lungsur dan dimakan oleh keluarga atau masyarakat.

Baca juga:  Tahan Penyebaran COVID-19, Pusat Apresiasi Keberhasilan Pemprov Bali

Terkait hal ini, Ketua PHDI Provinsi Bali I Nyoman Kenak, menegaskan apabila benar permen tersebut digunakan sebagai sarana sesajen dan dibuat dari bahan sisa atau tidak suci, maka hal itu melanggar kaidah tatacara persembahyangan dalam ajaran Hindu.

“Kalau benar seperti video yang beredar, bahwa permen itu dijual untuk umat Hindu di Bali dan digunakan dalam sesajen, tapi bahannya dari permen reject, jelas tidak memenuhi syarat. Itu tidak hanya tidak layak sebagai persembahan, tapi juga bisa membahayakan, apalagi kalau permen itu dikonsumsi setelah di-lungsur oleh umat,” ujar Kenak Jumat (25/7). (Widiastuti/bisnisbali)

BAGIKAN