Arsip foto- Mahfud MD, Kamis (27/2/2025). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Pakar hukum tata negara Mahfud MD memberikan lima alternatif rekayasa konstitusional untuk menyikapi putusan MK terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah yang bersifat final dan mengikat.

Mahfud dalam diskusi publik di Jakarta, Kamis (24/7) dikutip dari Kantor Berita Antara mengatakan perpanjang masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah dengan undang-undang menjadi salah satu alternatif. Alternatif lainnya, kepala daerah diganti penjabat, DPRD dipilih melalui pemilu sela; kepala daerah diperpanjang dengan penjabat, DPRD diperpanjang dengan undang-undang tanpa pemilu sela; pemilu sela untuk DPRD dan kepala daerah periode peralihan; serta pilkada oleh DPRD.

Namun, Mahfud tidak merekomendasikan pembentuk undang-undang memilih opsi terakhir, yakni pilkada oleh DPRD karena terlalu ekstrem. “Itu akan mundur. Saya tidak merekomendasikan, cuma itu bisa menjadi alternatif yang boleh. Saya lebih suka pemilu seperti sekarang, sama-sama langsung, tetapi jadwalnya menjadi problem,” ujarnya.

Baca juga:  FBI Kembalikan BB Kasus Pembunuhan WN Amerika

Dalam diskusi ia juga menyebut jadwal keserentakan pemilu seharusnya open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang alih-alih Mahkamah Konstitusi (MK).

“MK itu tidak punya wewenang. Karena apa? Itu open legal policy. Urusan jadwal pemilu itu ‘kan urusan eksekutif, urusan pembentuk undang-undang,” kata Mahfud.

Menurut Mahfud, MK tidak boleh membatalkan suatu norma undang-undang yang dianggap tidak baik. MK, kata dia, hanya berwenang untuk membatalkan norma yang terbukti bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

“Yang jelas-jelas melanggar konstitusi, boleh oleh MK itu dibatalkan,” ucap ketua MK periode 2008–2013 itu.

Terkait persoalan jadwal pemilu, Mahfud menyinggung putusan MK sebelumnya yang berbeda dengan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Pada putusan terbaru itu MK secara eksplisit memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah digelar dua atau dua setengah tahun sejak anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden dilantik.

Baca juga:  Sirkuit Mandalika Lolos Homologasi 2024

Sementara itu, kata dia, MK dalam pertimbangan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, memberikan enam pilihan model keserentakan pemilu.

“Katanya tadi konstitusional semua, lalu dipilih satu, lalu ditentukan jadwalnya, itu sebenarnya tidak boleh, [MK] tidak punya wewenang,” kata Mahfud.

Kendati demikian, Mahfud menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga harus dijalankan dengan melakukan rekayasa konstitusional, sebagaimana yang diamanatkan pula oleh MK dalam putusan nomor 135 itu.

Diketahui, MK melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memutuskan keserentakan pemilu yang konstitusional ialah pemilu daerah digelar sejak dua atau dua setengah tahun pemilu nasional rampung.

Pemilu daerah antara lain pemilihan anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota serta kepala dan wakil kepala daerah, sementara pemilu nasional terdiri atas pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, serta presiden dan wakil presiden.

Baca juga:  Libur Lebaran, Segini Jumlah Kendaraan Diprediksi Masuk Bali

Adapun titik rampungnya pemilu nasional, menurut MK, yaitu ketika anggota DPR, DPD, serta presiden/wakil presiden terpilih dilantik.

Dalam pertimbangan Putusan Nomor 135, MK menyatakan tetap berpegangan pada pertimbangan hukum yang tertuang dalam Putusan Nomor 55.

Namun demikian, setelah Putusan Nomor 55 diucapkan pada 26 Februari 2020, MK menilai pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Melihat kondisi itu, ditambah dengan pertimbangan-pertimbangan faktual lainnya, MK memutus sebagaimana Putusan Nomor 135 dengan tujuan mewujudkan pemilu berkualitas, memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan pemilih, serta mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat. (kmb/balipost)

BAGIKAN