
DENPASAR, BALIPOST.com – Dunia tata rias dan kecantikan Bali berduka. Sang ahli tata rias Bali, Dr. Dra. A.A Ayu Ketut Agung, M.M yang merupakan perintis dan pemilik Salon Agung berpulang pada Selasa (22/7) malam.
Berita ini disampaikan langsung sang anak, Anak Agung Sagung Diva Wastuningtyas, S.I.Kom. Ia menyampaikan sang ibu menghembuskan nafas terakhir pada pukul 20.27 WITA di RSUP Prof. Ngoerah.
Ayu Ketut Agung meninggal akibat sakit yang diderita sejak beberapa bulan lalu.
Lahir pada 30 Oktober 1959, perempuan yang akrab disapa Bu Agung ini bukan hanya seorang ahli tata rias, tetapi juga penjaga budaya Bali, khususnya tentang tata rias, rambut, dan busana.
Semasa hidupnya, ia mendedikasikan diri pada dunia tata rias, tata rambut, dan tata busana adat Bali melalui lembaga kursus dan pelatihan (LKP) sekaligus salon miliknya, Salon Agung.
Perjalanan panjangnya di dunia kecantikan dimulai pada 1979, dengan modal hanya Rp 100.000, yang bahkan harus dicicil. Tak jarang ia diundang untuk merias para penari dan mengadakan pelatihan ke luar negeri.
“Saya komit sampai mati bergerak di bidang kecantikan, dan di sinilah saya mengabdi,” ujarnya dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Bali Post.

Dari kursus pertama itulah benih kecintaannya pada dunia tata rias tumbuh subur. Ia membuka salon dan kursus di Jalan Anggrek, Denpasar dan membagikan ilmunya pada siapa pun yang mau belajar.
Tak terhitung sudah berapa ribu orang yang pernah menjadi muridnya—lebih dari 8.000 siswa ia didik, belum termasuk peserta berbagai pelatihan dan roadshow di Bali maupun luar negeri.
Menjaga Tradisi di Tengah Modernisasi
Komitmen Bu Agung bukan sekadar menjadikan tata rias sebagai mata pencaharian, tetapi juga sebagai bentuk pelestarian budaya. Ia meyakini bahwa kecantikan wanita Bali tidak lepas dari keberadaan sanggul tradisional, seperti pusung gonjer untuk remaja dan pusung tagel untuk wanita dewasa.
Sanggul-sanggul ini bukan sekadar gaya rambut, tetapi simbol kesucian, kedewasaan, dan penghormatan pada tradisi.
Menurutnya, tatanan rambut yang benar harus memperhatikan bentuk wajah agar tetap proporsional. Kesalahan dalam menyasak rambut atau menggambar alis bisa mengubah ekspresi wajah secara drastis. Inilah sebabnya keterampilan tangan adalah kunci dalam tata rias.
“Modifikasi boleh saja, tetapi harus tetap menyesuaikan situasi dan kondisi. Yang terpenting, jangan sampai penampilan menjadi ‘cafes’ atau cacat fashion,” tegasnya saat diwawancarai.
Penghargaan dan Pengakuan
Pengabdiannya telah diakui secara luas. Berbagai penghargaan ia raih, mulai dari menjadi juri kompetisi tata rias, meraih APP Award dari Kementerian Pendidikan RI, hingga penghargaan Parama Budaya dari Walikota Denpasar.

Ia juga pernah dipercaya Gubernur Bali ketujuh, Ida Bagus Oka, untuk menggali ilmu tata rias pengantin langsung ke puri-puri Bali.
Tak terhitung tokoh dan penjabat negara yang pernah dirias oleh Bu Agung. Ia pernah dipercaya menjadi perias alm. Ani Yudhoyono, Iriana Jokowi, dan sejumlah istri kepala negara yang melakukan kunjungan ke Bali.
Komitmen hingga Akhir Hayat
Bagi A.A Ayu Ketut Agung, mendidik dan melestarikan budaya Bali melalui kecantikan adalah bentuk “swadarma ning geginan” atau panggilan hidup. Ia bahkan menyediakan beasiswa bagi siapa pun yang betul-betul berniat belajar.
Ia berpesan bahwa dunia kecantikan harus dijalani dengan tanggung jawab moral dan semangat untuk terus belajar.
“Jangan hanya bisa merias lalu dapat uang. Tingkatkan terus kualitas diri, karena zaman sekarang tidak cukup hanya baik, tapi harus lebih baik lagi,” pesannya.
Sanggul Tradisional yang Tak Pernah Lekang
Di tengah tren modern, sanggul tradisional Bali tetap bertahan. Menurutnya, masyarakat kini makin sadar pentingnya menyesuaikan sanggul dengan acara yang dihadiri—sanggul tradisional untuk ngayah dan upacara adat, sedangkan sanggul modern untuk resepsi atau pesta.
Baginya, setiap detail punya makna. Dari cara menyasak rambut, menata pusung, memilih bunga segar sebagai hiasan sanggul, hingga penggunaan hairspray yang seperlunya, semua harus tepat agar kecantikan alami tetap terpancar.

Bagi Bu Agung, kecantikan Bali tak hanya soal wajah, tetapi juga tatanan rambut dan busana yang sarat makna.
Salah satu warisan budaya yang ia jaga ketat adalah sanggul tradisional Bali, seperti pusung gonjer untuk remaja dan pusung tagel untuk wanita dewasa.
Penggunaan sanggul, kata Bu Agung, tidak boleh sembarangan. Jenis dan bentuknya harus disesuaikan dengan usia, acara, dan tempat.
Saat ke pura, misalnya, wanita dewasa wajib mengenakan pusung tagel agar rambut tidak terurai. “Yang terpenting, rambut tidak terurai ke pura. Itu menghormati tempat suci,” tegasnya.
Ia menekankan, keterampilan menyanggul memerlukan keahlian khusus. “Sanggul dapat mempengaruhi bentuk wajah agar terlihat proporsional. Jangan sampai terlihat tua setelah memakai sanggul,” katanya.
Ia menambahkan pentingnya penggunaan bunga segar, bukan plastik, sebagai hiasan.
Dari Pelatihan hingga Panggung Internasional
Perjalanan panjang Bu Agung di bidang kecantikan tak lepas dari peran sesepuh yang mewariskan ilmu kepadanya. Ia pun merasa memiliki tanggung jawab moral untuk membagikan pengetahuan tersebut.
Berbagai roadshow, pelatihan ke desa-desa, dan sosialisasi ia lakukan demi meningkatkan pemahaman masyarakat Bali tentang tata rias yang baik dan benar. Kepiawaiannya dalam merias Bali bahkan telah diakui secara internasional.
Dalam dunia rias pengantin Bali, ia menggarisbawahi betapa pentingnya keterampilan teknis.

Menurutnya, salah satu tahap tersulit adalah menyasak rambut agar tatanan sanggul rapi dan wajah terlihat proporsional. Di bagian wajah, merias alis juga menjadi tantangan, karena posisi yang tidak tepat bisa membuat wajah tampak tua atau sedih.
Bu Agung membuktikan bahwa kecantikan bukan sekadar penampilan luar, tetapi juga soal pengabdian dan pelestarian budaya. Sang ahli tata rias ini berpulang pada 22 Juli 2025 karena sakit.
Semasa hidupnya, ia berkomitmen untuk terus mendidik generasi muda Bali agar tetap bangga dengan budaya mereka, melalui tata rias dan busana adat yang diwariskan turun-temurun.
Kecantikan Bali baginya adalah warisan hidup yang tak lekang oleh zaman. (Widiastuti/bisnisbali)