Lahan pertanian di Klungkung. (BP/dok)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Puluhan lokasi di Kabupaten Klungkung ditetapkan sebagai jalur hijau. Namun beberapa tahun belakangan, kondisinya justru berbeda. Alih fungsi menjadi permukiman terus mengepung.

Pemerintah pun dilematis dalam menyikapi ini karena berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Kawasan Permukiman Klungkung, Gusti Gde Gunarta menjelaskan sesuai data terakhir, tercatat ada 28 blok jalur hijau di Klungkung Daratan yang ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 1998, yang seluruhnya berupa lahan persawahan.

Sesuai pengamatannya, tak dimungkiri sudah ada yang terkepung bangunan, baik untuk fasilitas pertanian, berupa balai subak dan pura maupun permukiman pribadi. “Bangunan itu ada sebelum muncul perda, ada juga setelah itu. Cukup banyak dan rata-rata ada di setiap jalur hijau,” jelasnya saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (17/4).

Baca juga:  Empat Tahun Terakhir, Alih Fungsi Lahan Pertanian di Denpasar Tinggi

Dihadapkan hal demikian, pemkab tidak bisa berbuat banyak dan berada dalam situasi dilematis. Jika dipaksakan lahan tersebut tetap untuk jalur hijau, masyarakat yang tidak memiliki lahan lain akan tidak bisa melakukan pembangunan. “Memang ini membuat dilematis. Umumnya, rata-rata masyarakat yang membangun disana, memiliki lahan sedikit. Tidak ada lagi di tempat lain,” katanya.

Disampaikan lebih lanjut, alih fungsi itu menyebabkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai amanat Undang-undang 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang yang luasnya minimal 30 persen dari luas wilayah keseluruhan semakin sulit tercapai. “Sekarang RTH baru sekitar sebelas persen,” kata Gunarta.

Agar tak dilematis, pejabat asal Karangasem ini mengatakan pada Mei medatang akan diusulkan perubahan Perda Nomor 3 Tahun 1998 tentang Jalur Hijau. Sesuai rencana, nantinya akan ada ketentuan yang dapat dapat diakomodir jika ingin memanfaatkan jalur hijau.

Baca juga:  Bali Masih Perlu Ditanami Mangrove

Misalnya untuk kepentingan ibadah maupun menunjang pertanian seperti balai subak. “Kita akan berikan insentif kalau mematuhi peraturan. Contohnya seperti subsidi pupuk maupun bibit. Kalau tidak, akan diberikan disinsentif. Misalnya saat membangun tidak diberikan layanan seperti air atau listrik. Atau mungkin pajaknya dikenakan lebih besar. Tetapi itu baru sebatas pemikiran. Memang agak ekstrem. Ini akan dibahas lagi. Tentu memerlukan masukan dari pihak lain,” sebutnya.

Pada usulan itu, tidak ada perubahan tempat jalur hijau. Tidak ada pula rencana perluasan. Yang terjadi kemungkinan justru penyempitan. Jika itu benar, maka jalur hijau akan ditutupi dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). “Kalau perluasan rasanya tidak mungkin. Kami khawatir malah memicu konflik di masyarakat. Kemungkinan bisa menyempit. Kalau memang begitu, secara otomatis RTH berkurang. Tetapi kami berharap sawah lain bisa dijadikan lahan pertanian abadi. Ini sedang kami perjuangkan ke pusat,” imbuhnya.

Baca juga:  Ratusan Hektare Sawah di 3 Kecamatan Rusak Karena Abu Vulkanik

Sesuai pantauan, alih fungsi jalur hijau satunya terjadi di Subak Delod Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan. Padahal, didekatnya sudah terpasang pengumuman yang menyatakan kilometer 6.911 sampai dengan 8.590, sepanjang 1.679 meter dan kedalaman 500 meter dilarang membangun. Fenomena itu berdampak pada luas sawah yang semakin menyusut.

Pada 2015 mencapai 3.843 hektare dan 2016 menjadi 3.779 hektare atau berkurang 64 hektar. Di tengah situasi itu, Kabupaten Klungkung pada 2017 kekurangan beras mencapai 2.146 ton untuk memenuhi kebutuhan 177.400 orang. (Sosiawan/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *