Petani membajak sawah. (BP/Dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sektor pertanian Bali utamanya menghadapi tantangan alih fungsi lahan dan persaingan pemanfaatan air. Di samping hal-hal insidentil seperti penyakit tanaman.

Untuk mengatasi persoalan yang muncul di sektor pertanian, Pemprov Bali khususnya selalu menggandeng perguruan tinggi. Utamanya agar perguruan tinggi menghasilkan kajian yang sifatnya aplikatif untuk petani. MKita kan selalu bekerjasama dengan peneliti. Jadi yang melaksanakan penelitian itu kan perguruan tinggi sama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP),” ujar Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali, Ida Bagus Wisnuardhana dikonfirmasi, Sabtu (28/7).

Menurut Wisnuardhana, kerjasama dan koordinasi selama ini telah berjalan dengan bagus. Pemerintah dan peneliti saling mengisi terkait penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian kemudian direkomendasikan untuk diterapkan di lapangan. “Kalau kita menganggap perlu dilakukan penelitian tertentu, kita siapkan anggarannya. Kalau mereka punya anggaran, mereka yang (berinisiatif, red) meneliti,” imbuhnya.

Baca juga:  Pertahankan Lahan Pertanian, Denpasar Berikan Insentif Petani

Wisnuardhana menambahkan, penelitian yang ‘dipesan’ pemerintah ditekankan agar aplikatif atau mudah diterapkan oleh petani. “Tinggal sekarang petaninya mau tidak,” cetusnya.

Selama ini, lanjut Wisnuardhana, pertanian Bali utamanya menghadapi tantangan alih fungsi lahan terutama sawah. Luasan yang beralih fungsi bersifat fluktuatif setiap tahunnya dengan rata-rata 600 hektar per tahun. Kendati, sudah diupayakan penegakan perda tentang tata ruang.

“Tahun 2017 ini agak besar sekitar 900 hektar (lahan beralih fungsi, red). Sudah itu ada persaingan pemanfaatan air. Pertanian kan perlu irigasi, terutama lahan sawah, yang bersaing dengan sektor domestik sehingga di musim kemarau, sawah kita kekurangan air,” paparnya.

Baca juga:  Pemerintah Optimalkan Pelaksanaan JKN

Masalah air diatasi dengan efisiensi. Di samping melakukan pembangunan bendungan dan waduk. Untuk penyakit tanaman, kata Wisnuardhana bersifat insidentil karena sangat tergantung dengan anomali iklim. Sama halnya dengan manusia, ketika musim dingin tiba-tiba beralih ke panas sangat rentan terkena flu atau demam.

“Selama kurang dari 3 persen luas serangannya, kita anggap aman. Tapi kalau diatas 3 persen biasanya kita turun melakukan pengendalian,” jelasnya.

Baca juga:  Jelang Libur Nataru, Menhub Cek Kesiapan Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk

Wisnuardhana menambahkan, pasca panen sebetulnya tidak ada masalah seperti yang banyak didengungkan selama ini. Komoditi pertanian sifatnya musiman, ada puncak panen dan tidak ada panen. Solusi untuk harga turun saat puncak panen adalah dengan mengaktifkan pabrik-pabrik pengolahan, mengintensifkan pemasaran, serta membantu petani lewat kemitraan agar produknya laku. Seperti misalnya kemitraan dengan swalayan, hotel, dan restoran. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *