
DENPASAR, BALIPOST.com – Ketua Umum Association of Hospitality Leaders Indonesia (AHLI), I Ketut Swabawa, menegaskan pelestarian Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) Unesco harus menjadi prioritas bersama seluruh pemangku kepentingan. Hal ini disampaikan menyikapi adanya sorotan publik terhadap tata kelola kawasan dan dugaan pelanggaran tata ruang di Jatiluwih.
Menurut Swabawa, status Jatiluwih sebagai Bentang Alam Warisan Dunia Unesco menandakan kawasan tersebut harus dikelola berdasarkan aturan dan kesepakatan internasional terkait perlindungan lingkungan.
“Jika sudah ditetapkan sebagai warisan dunia, maka semua pihak yang terkait wajib menjaga kawasan sesuai aturan yang berlaku,” ujarnya Selasa (9/12).
Namun, ia mengakui belum sepenuhnya memahami detail tata kelola di lapangan, termasuk sejauh mana pelibatan masyarakat, serta bagaimana dampak sosial ekonomi yang berkelanjutan bagi warga setempat. Ia menilai persoalan yang muncul saat ini kemungkinan dipicu oleh kurangnya kehati-hatian pengelola dalam menerapkan aturan tata ruang dan prinsip keberlanjutan.
Swabawa menekankan pentingnya membedakan antara destinasi sebagai kawasan bentang alam dengan Desa Wisata Jatiluwih yang berada di bawah kewenangan pemerintah desa.
“Desa wisata memiliki mekanisme berbeda. Ada SK Pokdarwis, SK penetapan desa wisata dari pemerintah daerah, hingga AD/ART dan peraturan desa terkait kawasan wisata,” jelasnya.
Karena itu, ia menilai perlu dikaji kembali bagaimana pemerintah desa dan pengelola desa wisata menjalankan edukasi bagi masyarakat terkait sadar wisata, sapta pesona, dan tata kelola yang benar.
Jika sistem berjalan dengan baik, kata Swabawa, peluang terjadinya pelanggaran tata ruang atau penataan lingkungan dapat diminimalisir.
Bukan Saatnya Saling Menyalahkan
Menanggapi persoalan yang berkembang, Swabawa menegaskan kini bukan saatnya saling menyalahkan. Ia mengingatkan bahwa persaingan pariwisata global semakin ketat, sehingga Jatiluwih harus tetap dilindungi agar status warisan dunia tidak terancam.
“Kalau status itu dicabut, masyarakat yang akan paling dirugikan,” tegasnya.
Ia pun menawarkan sejumlah solusi semua pihak duduk bersama, pemerintah, pengelola, masyarakat, dan stakeholder lain. Penguatan edukasi kepada masyarakat tentang aturan, tata ruang, dan pelestarian lingkungan.
Pemerataan manfaat ekonomi agar masyarakat merasa memiliki dan turut menjaga kawasan. Menyusun program kerja jangka panjang yang lebih komprehensif, bukan hanya berjalan spontan mengikuti peluang ekonomi.
Swabawa menilai saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Bali untuk memperkuat kembali pariwisata berbasis regeneratif. Ia menekankan pentingnya mengembalikan pariwisata pada identitas kelokalan dan filosofi Tri Hita Karana, yaitu keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
“Jangan hanya mengejar modernitas dan kenyamanan, lalu mengabaikan kearifan lokal. Regeneratif tourism harus jadi fondasi, memastikan keseimbangan lingkungan, budaya, dan masyarakat,” paparnya.
Dugaan Pelanggaran Pembangunan
Sementara itu Ekonom Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar, Dr. Made Santana Putra Adiyadnya, M.Si., menjelaskan polemik tata kelola di Desa Jatiluwih, Tabanan, kembali menjadi sorotan publik setelah munculnya dugaan pelanggaran pembangunan di kawasan subak yang berstatus WBD Unesco.
Ia menegaskan bahwa persoalan ini tidak hanya menyangkut tata ruang, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang signifikan bagi masyarakat sekitar.
Menurutnya, pembangunan yang melanggar aturan di area subak dapat mengganggu aktivitas pertanian, terutama sistem irigasi tradisional yang menjadi fondasi subak.
“Tabanan merupakan salah satu daerah agraris penting bagi Provinsi Bali. Gangguan terhadap sistem irigasi subak tentu akan berimplikasi langsung pada proses produksi pertanian,” jelasnya.
Santana menyebut, dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menurunkan tingkat penawaran hasil pertanian dan berdampak buruk terhadap pendapatan petani. Ia menilai, fenomena pembangunan di area subak juga dapat mendorong terjadinya pergeseran struktur perekonomian desa, dari sektor pertanian menuju sektor pariwisata.
“Seharusnya, sektor pertanian di Tabanan dapat menjadi penyokong bagi sektor pariwisata. Jika tidak diatur dengan baik, pergeseran ini justru berpotensi menimbulkan disparitas kesejahteraan antara masyarakat lokal dan pemilik modal,” ujarnya.
Ia menekankan pemerintah daerah sebagai pemegang kebijakan harus segera mengambil langkah untuk menengahi persoalan ini. Audiensi dengan warga lokal menjadi langkah mendesak yang wajib ditempuh untuk meredam ketegangan dan menemukan solusi yang adil.
“Keberpihakan kepada petani merupakan variabel penting dalam penyelesaian permasalahan pelanggaran pembangunan. Bali tidak dapat hanya mengandalkan sektor pariwisata untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sektor lain, termasuk pertanian, harus diperkuat secara berkelanjutan demi menjaga keseimbangan,” tegasnya.
Santana berharap pemerintah dapat bertindak cepat dan tegas agar keberlanjutan subak, yang menjadi identitas budaya dan sumber penghidupan masyarakat, tetap terlindungi. (Suardika/bisnisbali)










