Petani
Petani membajak lahan sawahnya. (BP/dok)

Budaya agraris (pertanian) berlandaskan agama Hindu merupakan cikal bakal berkembangnya pariwisata di Bali. Berbagai adat istiadat dan kesenian yang berkembang, semua bersumber dari budaya agraris berlandaskan nilai-nilai agama Hindu.

Budaya, adat dan kesenian khas ini tidak ditemukan di daerah lain di dunia. Keunikan inilah yang membuat wisatawan dari berbagai belahan dunia tertarik datang berlibur ke Bali. Bahkan ada menganggap Bali sebagai pulau surga dan ingin menghabiskan sisa hidup mereka di pulau yang mendapat julukan Pulau Seribu Pura ini.

Kini, sektor pariwisata telah menjadi tulang punggung perekonomian Bali. Semua menyadari, ini berkah keunikan seni budaya dan adat istiadat yang bersumber dari kehidupan agraris itu. Pemerintah pun telah menetapkan pariwisata yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya. Hanya, pariwisata budaya ini mulai diragukan dengan munculnya berbagai atraksi wisata yang tidak mencerminkan adat dan budaya Bali. Semua tidak lepas dari meningkatnya jumlah wisatawan yang datang. Terlebih, pemerintah terus meningkatkan target kunjungan wisatawan yang datang ke Bali.

Baca juga:  Bersatu Mewujudkan Bali yang Hijau

Untuk menampung dan mendukung membeludaknya wisatawan yang datang sesuai yang ditargetkan pemerintah, berkembang pesat pula berbagai akomodasi pariwisata di daerah ini. Tak bisa dihindarkan, lahan-lahan pertanian produktif pun ‘’dipaksa’’ beralih fungsi untuk akomodasi pariwisata. Gemerincing dolar dari pariwisata telah pula membius generasi muda Bali berbondong-bondong meninggalkan sektor pertanian beralih ke sektor pariwisata. Budaya agraris pun jadi terputus tidak ada regenerasi. Apalagi, lahan yang harus garap telah menyusut pula. Sementara penghasilan dari sektor pariwisata dinilai lebih menjanjikan dibandingkan di sektor pertanian.

Lahan yang menyusut, regenerasi petani yang terputus di tengah gempuran atraksi wisata modern yang sama sekali tidak mencerminkan budaya Bali, tanpa disadari namun pasti, telah mengarahkan terjadinya pergeseran tema besar pariwisata yang diusung Bali. Bagaimana mungkin masih mengusung pariwisata budaya jika budaya agraris sebagai fondasi awal berkembangnya pariwisata di Bali telah hilang terputus? Budaya agraris seperti matekap (membajak sawah menggunakan sapi), mabiukukung (upacara yang menandai mulai berbuahnya padi yang ditanam), serta berbagai atraksi seni budaya lainnya kini sudah sangat susah ditemui seiring menyusutnya lahan pertanian. Berbagai atraksi budaya itu kini hanya ditemui dan telah dikemas menjadi atraksi wisata yang dikolaborasikan dengan berbagai budaya asing yang masuk lewat permintaan pariwisata.

Baca juga:  Transportasi Terintegrasi

Jika memang Bali ingin tetap mengusung pariwisata budaya maka semua pihak haruslah menjaga sumber-sumber budaya Bali. Sudah jelas budaya Bali adalah budaya agraris bernapaskan agama Hindu, maka komponen-komponen terkait haruslah selalu dijaga dan dipelihara dengan baik. Aliran subak janganlah dipotong pembangunan perumahan baru. Lahan pertanian produktif janganlah diberangus jadi tumpukan akomodasi pariwisata. Harus ada regenerasi SDM pertanian. Untuk itu, haruslah ada perlakuan khusus atau semacam intensif yang diberikan. Dananya bisa dan harus diambil dari devisa pariwisata.

Baca juga:  Bali Dibuka untuk Wisman, Gubernur Koster Minta Krama Bali Tetap Taat Prokes

Pungutan kepada wisatawan untuk menjaga adat dan budaya Bali, seperti dicetuskan Gubernur Bali Wayan Koster, merupakan hal wajar. Dengan catatan, harus benar-benar dikembalikan dan diperuntukkan bagi pelestarian adat, budaya dan alam Bali. Jangan seperti pungutan PHR (pajak hotel dan restoran) yang banyak bocor dan mengendap di mana-mana dan peruntukannya banyak yang tidak tepat sasaran. Jika sampai budaya Bali yang adiluhung dan unik ini hilang maka kepariwisataan Bali tinggal menunggu waktu untuk dikubur.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *