Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Bali, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pariwisata Bali, selama ini dikenal dengan keindahan alam dan budayanya yang menjadi daya tarik. Menjaga alam dan budaya agar tetap lestari, tentu harus pula menjaga pelaku budaya yakni masyarakatnya. Terutama yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan manfaat yang dirasakan masyarakat.

Seperti halnya polemik yang tengah terjadi di Jatiluwih, Tabanan. Budaya pertanian yang terjaga hingga kini merupakan bagian dari budaya masyarakatnya. Namun pembangunan yang terjadi juga tentu menjadi perhatian. Kahwatir akan alam dan budaya tersebut semakin tergerus. Disisi lain masyarakat setempat juga membutuhkan nilai yang bisa menjaga kelangsungan hidup hingga anak cucu kelak yang tidak hanya bisa didapatkan dari bertani.

Anggota DPD RI, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra saat diwawancarai, Minggu (14/12) menegaskan, pentingnya pengakuan dan penguatan modal budaya yang dimiliki masyarakat lokal di destinasi wisata berbasis warisan budaya seperti Jatiluwih, Bali.

Baca juga:  Desember, Ada Seratusan Wisman ke Bali

Menurutnya, keberlanjutan pariwisata budaya tidak dapat dilepaskan dari kesejahteraan masyarakat sebagai pemilik langsung aset budaya tersebut. “Kalau kita bicara pariwisata budaya, sebenarnya itu juga menyangkut tenaga kerja dan pelaku pariwisata. Dari awal saya menyinggung soal culture capital atau modal budaya,” ujarnya.

Rai Mantra menilai, selama ini terjadi perkawinan antara modal budaya dan ekonomi, namun belum sepenuhnya memberikan manfaat yang seimbang bagi masyarakat lokal. Modal budaya berupa nilai, norma, pengetahuan, serta sistem pertanian tradisional seperti subak di Jatiluwih merupakan aset yang dimiliki oleh komunitas petani. “Artinya nilai, norma, pengetahuan yang mereka miliki di sana itu adalah aset mereka,” katanya.

Jatiluwih sendiri telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Namun, menurutnya, status tersebut belum sepenuhnya diikuti oleh skema kebijakan yang adil bagi masyarakat.

Ia menyoroti paradigma baru dalam undang-undang yang memandang aset budaya sebagai kepemilikan komunitas, di mana masyarakat seharusnya memiliki saham atas aktivitas pariwisata yang berkembang di wilayahnya.

Baca juga:  Seratusan Toko Modern di Tabanan Belum Jelas Perizinannya

Oleh karena itu, ia menekankan perlunya stimulus yang lebih konkret agar masyarakat dapat terus menjaga warisan budaya tanpa terdorong oleh tekanan ekonomi yang berujung pada maraknya pembangunan. Stimulus yang dimaksud tidak hanya bersifat moneter, tetapi juga dapat berupa kebijakan bebas pajak, subsidi pertanian, bantuan bibit padi, pengelolaan sawah, hingga insentif bagi tenaga kerja lokal. Selain itu, ia juga menilai penting adanya dukungan pendidikan. “Mungkin bisa diberikan beasiswa untuk anak-anak atau keluarga di sana, karena mereka menjaga heritage atau warisan budaya,” ucapnya.

Ia mencontohkan, praktik di beberapa negara lain, di mana pemerintah membeli atau menyewa aset budaya dari masyarakat untuk menjamin kelestariannya. Dalam konteks Indonesia, pendekatan tersebut dapat digantikan dengan berbagai bentuk stimulus sebagai jalan tengah. “Yang ini kita anggap kita sewa, menggantikan dengan stimulus. Jadi kita cari jalan tengahnya,” katanya.

Baca juga:  Umanis Galungan, Polres Gianyar Antisipasi Objek Wisata Pantai

Terkait berbagai persoalan perizinan dan pelanggaran yang terjadi di kawasan warisan budaya, Ida Bagus Rai menilai penyelesaiannya tidak cukup hanya melalui pendekatan yuridis. Dia juga tidak menampik bahwa ada kekahwatiran akan pembangunan yang marak kedepannya sehingga perlu aturan untuk ditertibkan.

Ia juga menekankan bahwa perubahan paradigma dalam pengelolaan pariwisata budaya merupakan keniscayaan. Revisi kebijakan diperlukan agar aset budaya masyarakat benar-benar diakui sebagai komponen penting yang menunjang keberlangsungan pariwisata itu sendiri.

Dengan pendekatan tersebut, Ida Bagus Rai berharap masyarakat lokal dapat hidup berkecukupan, tetap menjaga identitas dan warisan budayanya, serta tidak terdorong untuk mengorbankan ruang dan nilai budaya demi pembangunan yang tidak terkendali. (Widiastuti/bisnisbali)

BAGIKAN