
GIANYAR, BALIPOST.com – Sejak wabah rabies pertama kali muncul di Bali pada tahun 2008, anjing liar atau stray dogs terus disebut-sebut sebagai sumber utama penyebaran penyakit mematikan tersebut. Namun, para ahli dan petugas kesehatan hewan menilai persoalan rabies tidak sesederhana itu. Berbagai faktor sosial, lingkungan, dan perilaku masyarakat turut berperan dalam mempertahankan siklus penularan rabies di Bali.
Kepala UPTD Puskeswan III Kabupaten Gianyar (Wilayah Kerja Kecamatan Gianyar, Blahbatuh & Sukawati), drh. I Nyoman Arya Dharma seizin Kadis Pertanian Ir. Anak Agung Putri Ari, Minggu (5/10), mengungkapkan sebuah penelitian berjudul “Analysis of Rabies Surveillance Data (2008-2011) di Provinsi Bali” mencatat dari 443 sampel anjing yang diuji di wilayah Denpasar, sekitar 29 persen di antaranya positif rabies. “Hasil tersebut meliputi anjing yang menggigit manusia maupun yang menunjukkan gejala klinis rabies.
drh. Arya Dharma menjelaskan penelitian itu juga mengungkap anjing yang tidak divaksin termasuk anjing liar memiliki risiko lebih dari dua kali lipat untuk terinfeksi dibandingkan anjing yang telah divaksinasi. Hal ini menegaskan pentingnya vaksinasi massal sebagai langkah utama pencegahan.
Lebih lanjut dikatakannya, dalam penelitian sosiokultural “On Dogs, People, and a Rabies Epidemic”, disebutkan anjing liar di Bali kerap dianggap penyebar rabies karena tidak divaksin, hidup bebas, dan sulit dikontrol. Persepsi ini diperkuat oleh kenyataan di lapangan, di mana kebiasaan masyarakat yang masih sering membuang anak anjing-terutama betina yang tidak diinginkan ke tempat umum seperti pasar, kuburan, tempat pembuangan sampah, atau semak-semak, justru memperbesar populasi anjing yang hidup tanpa pemilik dan rentan penyakit.
Pemprov Bali juga mengeluarkan kebijakan agar setiap pemilik anjing wajib menjaga hewan peliharaannya dengan baik, memastikan mereka divaksinasi, diikat, atau dikandangkan agar tidak menjadi bagian dari populasi stray dogs.
Hingga kini, laporan gigitan anjing liar masih sering diterima di sejumlah daerah, terutama di kawasan yang memiliki populasi anjing liar tinggi. Anjing liar dianggap lebih agresif dan sering berinteraksi tanpa kontrol dengan manusia, sehingga meningkatkan risiko penularan rabies. Laporan gigitan dari anjing liar masih cukup tinggi di beberapa wilayah. “Karena itu kami terus gencarkan vaksinasi dan edukasi masyarakat agar segera melapor jika tergigit,” ujar Arya Darma.
Meski anjing liar berperan besar dalam penyebaran rabies, Arya Darma menegaskan ada banyak faktor lain yang perlu diperhatikan. “Anjing liar memang salah satu sumber utama, tapi bukan satu-satunya penyebab. Anjing peliharaan yang dibiarkan berkeliaran tanpa vaksin juga bisa menjadi penular. Selain itu, kesadaran masyarakat, perilaku setelah tergigit, dan kondisi lingkungan turut memperparah situasi,” ujarnya.
Arya Dharma menambahkan faktor lingkungan seperti pengelolaan sampah terbuka dan tempat pembuangan hewan tidak diinginkan menciptakan lokasi berlindung bagi anjing liar. Sementara itu, rendahnya kesadaran masyarakat untuk segera ke fasilitas kesehatan setelah tergigit turut memperbesar risiko penularan ke manusia.(Wirnaya/balipost)