
TABANAN, BALIPOST.com – Menindaklanjuti adanya informasi yang santer di media sosial terkait potensi pelanggaran di kawasan Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, Kecamatan Penebel, yang dikhawatirkan mengancam status terhadap status Warisan Budaya Dunia (WBD), seluruh komisi DPRD Tabanan melakukan kunjungan lapangan, Rabu (6/8).
Hasilnya, potensi pelanggaran baru ditemukan mulai dari bangunan yang melanggar sempadan jalan dan pengurugan lahan produktif menjadi lahan parkir.
Dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Tabanan, I Made Asta Darma, kunjungan melibatkan seluruh jajaran Komisi I hingga IV. Hasilnya cukup mengejutkan. Dewan menemukan bangunan baru yang melanggar sempadan jalan serta adanya pengurugan lahan sawah produktif yang rencananya akan dijadikan lahan parkir. Padahal sebelumnya, 13 titik pelanggaran di kawasan WBD sudah ditindaklanjuti dengan Surat Peringatan Kedua (SP2).
“Kenyataannya masih ada potensi pelanggaran baru. Jika ini dibiarkan, status WBD yang sudah susah payah kita pertahankan bisa terancam dicabut UNESCO. Kami mendorong pemerintah daerah segera bertindak tegas sebelum semua ikut-ikutan melanggar,” tegas Asta Darma.
Ia menambahkan, hasil temuan dalam kunjungan lapangan ini nantinya akan dilanjutkan dengan rapat kerja bersama OPD terkait untuk nantinya bisa menghasilkan sebuah rekomendasi dari DPRD ke eksekutif sebagai bahan tindak lanjut. “Kita mencari solusi terbaik, jika itu melanggar ketentuan UNESCO, ya terpaksa ada langkah tegas,” imbuhnya.
Terkait dengan pembangunan yang melanggar sempadan jalan serta pengurugan tanah pada lahan produktif, Perbekel Jatiluwih I Nengah Kartika yang mendampingi rombongan dewan mengatakan pihaknya tidak tahu kapan mulai menimbun, karena tidak ada pemberitahuan ke desa maupun kepala wilayah.
“Temuan bangunan tadi juga kami kaget kapan menimbun tidak ada pemberitahuan ke desa bahkan kawil. Setelah kroscek itu yang punya warga lokal,” ucapnya.
Menurutnya jika bicara RTRW baru lahir 2023 sedangkan bangunan ada yang berdiri tahun 90 an atau sebelum ditetapkan sebagai WBD oleh UNESCO. Harapan kami tentunya Pertanian sinergi dengan pariwisata bisa berkelanjutan khususnya di desa Jatiluwih sebagai satu satunya income di local desa dan pemerintah kabupaten.
Berbicara pariwisata tentu ada positif dan negatif yang perlu kebijakan pro rakyat. Satu sisi tidak juga merugikan. Dimana selama ini sudah ada kesepakatan badan pengelola dan manajemen, sawah yang tidak teraliri air akibat bendungan rusak atau tanah kering bisa dibangun gubuk sapi.
“Lahan yang benar-benar tidak terairi misalnya bisa dimanfaatkan untuk kandang sapi, dengan syarat hanya satu gubuk per bidang dan ukuran maksimal 4×6 meter. Itu pun tidak boleh permanen,” imbuhnya.
Masalah lain yang mencuat adalah terkait perizinan berbasis Online Single Submission (OSS). Banyak masyarakat mengira dengan mengantongi NIB (Nomor Induk Berusaha) mereka sudah bisa bebas membangun. Padahal, NIB bukanlah izin pemanfaatan ruang.
“Dulu masyarakat membeli tanah melalui kantor desa dan camat, sehingga kami tahu peruntukannya. Sekarang semua lewat notaris dan OSS. Ketika ada masalah, baru mereka datang ke desa,” ujar Perbekel Jatiluwih.
Ia menjelaskan, salah satu bangunan yang ramai disorot di media sosial adalah milik Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida yang digunakan untuk kegiatan World Water Forum (WWF). Karena merupakan aset pemerintah pusat, pembongkarannya tidak bisa sembarangan sebelum melewati masa pakai lima tahun.
Sementara itu Manajer DTW Jatiluwih, I Ketut Purna, menekankan pentingnya menjaga kelestarian sawah yang menjadi warisan leluhur. “Kami sudah lakukan berbagai upaya seperti subsidi pupuk dan penyemprotan gratis. Saya ingin 99 persen sawah tetap berkelanjutan, karena itu satu-satunya kekuatan ekonomi desa,” ujarnya.
Ia menyadari, keberadaan investor lokal di Jatiluwih memberikan peluang sinergi antara sektor pertanian dan pariwisata. Namun, semua harus dikemas secara bijak agar tidak menyalahi regulasi maupun mencederai nilai-nilai budaya. “Intinya kalau kami ingin status WBD masih tetap bisa terjaga yang tentunya perlu komitmen bersama menjaga kawasan ini sesuai dengan aturan perundang undangan yang berlaku,” harapnya.
Camat Penebel, Hendra Manik, menegaskan tidak ada bangunan baru pasca status WBD ditetapkan. Ia membenarkan adanya pengurangan luasan sawah terlindungi dari 303 hektare menjadi 270 hektare akibat irigasi yang rusak. “Tidak semua bisa ditarik ke ranah pelanggaran baru. Ada bangunan yang sudah lama, hanya direnovasi,” jelasnya.
Dengan kondisi ini, DPRD Tabanan berharap ada langkah pencegahan yang tegas. “Apapun bentuknya, pembangunan harus sesuai regulasi. Jangan sampai bangunan selesai baru bicara izin. Mencegah lebih baik daripada menyesal kemudian,” tandas Asta Darma.
Pemerintah daerah bersama desa adat, subak, dan masyarakat diminta memperkuat sinergi menjaga kelestarian Jatiluwih. Karena jika status Warisan Dunia sampai dicabut, kerugian tidak hanya dialami oleh Tabanan, tetapi juga nama baik Indonesia di mata dunia. (Puspawati/Balipost)