
DENPASAR, BALIPOST.com – Stok beras di Bali menurut Dinas Pertanian Bali mengalami surplus. Namun, kondisi surplus beras tidak memberi jaminan bahwa ketahanan pangan Bali aman terutama di tingkat konsumsi masyarakat.
Selama ini petani di Bali tidak memiliki kontrol atas padi yang mereka produksi karena adanya sitem tebasan, dimana gabah dijual ketika masih belum dipanen.
Hal tersebut disampaikan pengamat Pertanian Prof. I Nyoman Sucipta saat diwawancarai, Kamis (24/7), di Denpasar.
Menurutnya surplus beras menjadi kabar baik bagi Bali. “Secara teori, surplusnya beras ini seharusnya menjadi kabar baik, karena ketersediaan pangan aman, petani sejahtera, dan harga terkendali. Namun, kondisi di lapangan tampaknya tidak sesederhana itu,” katanya.
Petani di beberapa wilayah kata dia, saat ini banyak mengelola sawah dengan sistem tebasan, yaitu gabah dijual saat masih di sawah sebelum panen. Sistem ini membuat petani tidak mengolah gabah menjadi beras sendiri, melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada tengkulak atau pengepul. Akibatnya, petani tidak mengetahui nasib gabah mereka setelah terjual.
Faktor ini menurut Sucipta yang merupakan Rektor Universitas Bali Dwipa ini membuat surplus beras di tingkat produksi tidak serta-merta menjamin ketahanan pangan di tingkat konsumsi masyarakat Bali. Ada celah dalam rantai distribusi dan kontrol kualitas, yang memungkinkan praktik oplosan terjadi tanpa pengawasan ketat.
Pemerintah daerah perlu memperkuat sistem distribusi yang berbasis pada jejak asal beras (traceability) dan labelisasi yang akuntabel, agar konsumen mengetahui asal-usul produk yang mereka beli.
Di sisi lain, petani perlu didorong untuk kembali memiliki kontrol atas hasil panennya. Revitalisasi koperasi pertanian dan lumbung pangan desa, serta penyediaan alat penggilingan gabah skala kecil di tingkat kelompok tani, bisa menjadi solusi untuk meningkatkan nilai tambah di tingkat petani.
Munculnya isu beras oplosan menurut Pengamat Pertanian Prof. I Nyoman Sucipta saat diwawancarai, Kamis (24/7), di Denpasar, mengganggu psikologi konsumen, merugikan petani lokal dan menodai kepercayaan publik terhadap sistem distribusi pangan. Pasalnya beras oplosan ini, campuran beras lokal dengan beras kualitas berbeda yang datang dari luar daerah namun diberi label premium.
Lebih jauh lagi kata Rektor Universitas Bali Dwipa ini, beras yang beredar di pasaran, terutama yang diklaim sebagai beras premium, sebagian besar justru berasal dari luar Bali, terutama dari Jawa. “Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa beras lokal tidak mendominasi pasar lokal, padahal kita surplus?” ujarnya.
“Isu beras oplosan ini sejatinya menjadi alarm moral bagi kita semua. Ia menandakan pentingnya transparansi rantai pasok, penguatan kelembagaan petani, serta perlunya edukasi masyarakat agar tidak hanya melihat beras dari segi harga dan warna, tetapi juga dari etika pangan dan keberlanjutan pertanian lokal,” imbuhnya. (Widiastuti/bisnibali)