Seorang pecalang berjaga saat pelaksanaan Nyepi di Denpasar. (BP/Dokumen)

GIANYAR, BALIPOST.com – Menyambut Tahun Baru Çaka 1944, Krama Bali melaksanakan Pangerupukan, Catur Brata Panyepian. Tahun ini krama Bali kembali merayakan Nyepi dalam situasi pandemi COVID-19.

Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda menekankan pada prinsipnya krama Bali dalam melaksanaan Hari Suci Nyepi dan Catur Brata Panyepian nilainya tidak boleh berkurang. Nilai konten Nyepi harus tetap maksimal walaupun dalam kondisi pandemi.

Dalam kondisi pandemi, manusia adalah makhluk yang tidak berdaya. “Ketika kita menjadi makhluk yang tidak berdaya atas kekuasaan beliau mari kita rendah hati dan serahkan diri lebih dalam ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,” ucapnya, Selasa (1/3).

Dikatakan Ida Pandita, dalam kondisi pandemi, hanya satu yang memberikan arti yaitu kehadiran agama memberikan asas manfaat yang luar biasa. Dalam situasi bergelimpangan harta dan rezeki kita terkadang selalu lupa pada Tuhan. Ketika diberikan kesehatan kita sering lupa kepada Tuhan.

Menurutnya, rasa rendah hati ini menjadi penting bagi
umat manusia. Ini terutama dalam menyambut Nyepi,
tidak ada yang membuat status macam-macam di medsos yang bisa memancing kerusuhan. Mungkin karena kesal menghadapi situasi seperti ini, manusia bisa saja menumpahkan ke media sosial.

Kalau masuk ke media sosial akan ada banyak yang
menanggapi sehingga menjadi viral. Dampaknya, nilai
kesucian dalam pelaksanaan Catur Brata Panyepian menjadi berkurang.

Baca juga:  Pengusaha Minta Pemangku Kebijakan Lakukan Langkah Kreatif

Dengan demikian ketika orang negatif tersebar di
alam jagat maya bukan justru akan mengurangi Pandemi Covid-19, justru semakin bertambah menghasilkan orang negatif dari tulisan kita pemikiran kita satu sama lain.

Dalam menyambut Nyepi ada saja pihak-pihak yang
usil bisa memancing situasi menjadi panas. Masyarakat Bali selalu berada pada visi mental terkendali. ‘’Ada kegiatan ogoh-ogoh dan sebagainya pemerintah sudah mengatur sesuai norma maka
ikutilah protokol kesehatan yang benar,’’ tegasnya.

Ia berharap, mudah-mudahan melalui hari raya Nyepi, krama Bali diberikan kekuatan. Krama Bali bisa benar-benar menyepi sebagai sebuah momentum. “Mudah-mudahan seusai Nyepi secara berangsur-angsur
wabah Covid-19 akan berakhir,” ujarnya.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI)
Buleleng Gede Made Metera mengatakan, sejak pandemi Virus Corona melanda, prosesi perayaan Nyepi dilakukan dengan aturan pembatasan. Termasuk perayaan di tahun ini pun telah diatur
lewat kebijakan pemerintah dan umat saat merayakan
dituntut mengedepankan disiplin penerapan protokol
kesehatan (prokes) COVID-19.

Sejatinya, pembatasan ini bukan menghambat umat dalam merayakan hari raya besar, namun tujuan besarnya, mencegah kemungkinan terjadinya kerumunan yang berpotensi memicu klaster
penularan virus yang membahayakan.

Metera mengatakan meski masih dalam pandemi, namun makna perayaan Nyepi Çaka kali ini, bukan saja memohon kerahayuan setiap umat juga turut mendoakan untuk harmonisasi alam semesta. Keselamatan, dan kesejahteraan alam semesta dan isinya.

Baca juga:  Di Buleleng, Permintaan Hewan Kurban Meningkat

Hal ini sejalan dengan Teologi Hindu mengajarkan Vasudaiva Kutum Bakam. Di mana, alam semesta beserta isinya adalah keluarga besar. “Pada dasarnya upacara dan doa Hindu tidak pernah hanya mendoakan diri sendiri atau kelompok. Tetapi selalu
mendoakan keselamatan alam semesta beserta seluruh isinya,” katanya.

Menurutnya, rangkaian Nyepi diimplemantasikan oleh warga Hindu Bali melalui prosisi upacara, malasti, Tawur Kasanga, dan Sipeng dengan melaksanakan
Catur Berata Panyepian. Malasti adalah upacara untuk penyucian bhuwana alit.

Saat malasti umat mengusung pratima dan peralatan upacara ke sumber air seperti pantai, danau dan sungai. Kemudian, upacara Tawur Kasanga bermakna penyucian bhuwana agung. Upacara ini dilakukan mulai di tingkat rumah tangga, banjar, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional.

Tawur Kasanga biasanya disertai dengan pawai ogoh-ogoh sebagai simbol bhuta kala yang merupakan kreasi seni dan budaya yang baik. Sebelum diarak keliling ogoh-ogoh itu di-pasupati sebagai simbol butha kala.

Setelah selesai diarak bhuta kala itu harus di-pralina dengan upacara agar tidak ada lagi roh bhuta kala. Baru dilanjutkan dengan Catur Brata Panyepian.

“Umat Hindu melakukan introspeksi diri, merenung,
mengevaluasi diri agar bisa berbuat lebih baik di masa yang akan datang,” katanya.

Baca juga:  Gelar Nyepi Adat, Warga Palaktiying Dilarang Terima Tamu

Sementara itu Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Bangli, Nyoman Sukra, mengatakan hari raya nyepi yang jatuh tiap satu tahun
sekali merupakan momen yang terbaik untuk menenangkan diri serta melakukan introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan selama setahun terakhir. Hari raya Nyepi juga menjadi momen yang baik untuk nyomnya atau menetralisir kekuatan bhuta
kala pada alam, termasuk bhuta kala pada diri sendiri. “Dengan cara salah satunya introspeksi diri dan melaksanakan Catur Brata Panyepian,” ujarnya.

Semua amarah yang masih ada di dalam hati harus dipadamkan (amati geni). Demikian juga pikiran yang suka meng￾khayal ke sana kemarin agar dikendalikan.
“Fokuskan pikiran untuk mencari keheningan,” jelasnya.

Sukra mengatakan, sudah dua tahun lebih pandemi Covid-19 melanda dunia. Pandemi menurutnya harus dimaknai sebagai ujian dari alam. Alam menguji kemampuan manusia untuk mengatasi diri sendiri.

Karenanya jangan hendaknya menyalahkan orang lain atas hal yang dihadapi saat ini. Hari suci Nyepi, harap Sukra juga dijadikan sebagai momen untuk saling
memaafkan sehingga menemukan kedamaian dalam hidup. “Saya harapkan umat mari sudahi perbedaan. Mari bersatu. Kekurangan yang kita miliki mari saling
mengisi,” kata Sukra. (Wirnaya/Mudiarta/Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN