Sekretaris Umum PHDI Pusat, I Ketut Budiasa. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana mengembalikan pelaksanaan Nyepi ke Tilem Kasanga mendapat tanggapan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat.

Sekretaris Umum PHDI Pusat, I Ketut Budiasa, menegaskan bahwa perubahan terhadap Hari Raya Nyepi tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa karena Nyepi merupakan hari suci yang sangat penting bagi umat Hindu dan memiliki dampak besar terhadap tata kehidupan masyarakat, khususnya di Bali.

“Nyepi bukan hanya soal penanggalan, tetapi menyangkut sistem kehidupan beragama dan sosial umat Hindu. Karena itu, setiap gagasan perubahan harus melalui kajian mendalam, melibatkan para pakar wariga, praktisi penyusun Kalender Bali, bahkan idealnya melalui seminar dan diseminasi terlebih dahulu,” ujar Budiasa, Rabu (31/12).

Ia menjelaskan bahwa perdebatan mengenai waktu pelaksanaan Nyepi sejatinya bukan hal baru. Diskursus tersebut sudah berlangsung sejak lama, bahkan tercatat dalam Majalah Jatayu pada tahun 1933. Perdebatan tersebut kemudian berlanjut hingga tahun 1967, saat dirumuskan kesatuan tafsir perayaan Nyepi yang memadukan rujukan sastra dengan tradisi yang telah hidup dan berkembang di tengah masyarakat Bali.

Baca juga:  Tiga Wanita Diadili Kasus Dugaan Korupsi LPD Suwat

“Rujukan sastra wariga itu sangat banyak, tidak hanya Lontar Sundarigama. Ada rujukan-rujukan lain yang juga harus dipertimbangkan secara utuh,” jelasnya.

Budiasa mencontohkan, salah satu tradisi penting masyarakat Bali adalah pelaksanaan Tawur Agung di Bencingah Agung Pura Besakih yang secara turun-temurun dilaksanakan pada Tilem Sasih Kasanga. Selain itu, tradisi macaru di berbagai desa adat di Bali juga umumnya dilakukan pada Tilem.

“Karena itulah Tawur Kasanga ditetapkan pada Tilem Kasanga, dan Nyepi dilaksanakan keesokan harinya, yakni pada Pananggal 1 Sasih Kadasa. Para penglingsir kita tentu telah melakukan pertimbangan yang matang, memadukan sastra dengan tradisi yang hidup di masyarakat,” ungkapnya.

Baca juga:  Dari Pembunuh Kabur ke Bali Gegara Ini hingga Gubernur Koster Gelar Lomba Ogoh-Ogoh

Menurut Budiasa, praktik keagamaan yang ideal adalah praktik yang selaras antara ajaran sastra dan tradisi yang telah mengakar di tengah masyarakat, sehingga umat tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri.

Lebih lanjut ia menegaskan, di internal PHDI, setiap keputusan yang menyangkut persoalan keagamaan harus melalui mekanisme dan tahapan yang baku. Proses tersebut diawali dengan kajian para pakar di Sabha Walaka, dilanjutkan dengan seminar dan diseminasi untuk menyerap masukan dari para akademisi dan praktisi, sebelum akhirnya dibawa ke Sabha Pandita sebagai pemegang kewenangan tertinggi di PHDI untuk ditetapkan sebagai Bhisama.

“Keputusan keagamaan tidak bisa diambil secara grasa-grusu. Ini menyangkut tata kehidupan beragama sekitar lima juta umat Hindu di Indonesia, menyangkut tradisi yang telah berjalan mapan dan merupakan warisan para pendahulu. Ada tulahnya bagi kita sebagai generasi penerus bila sembarangan menegasikan kebijaksanaan leluhur,” tegasnya.

Baca juga:  Nasional Masih Catat Tambahan Kasus COVID-19 di Bawah Seribu Orang

Oleh karena itu, PHDI Pusat bersama PHDI Bali akan tetap menempuh proses baku yang telah menjadi tradisi kelembagaan PHDI, dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Budiasa mengakui bahwa proses tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat, terlebih bila menyangkut perubahan terhadap tatanan yang sudah berjalan lama.

“Sebagai majelis umat Hindu di Indonesia yang telah berusia 66 tahun, PHDI harus bersikap sangat hati-hati, dewasa, dan bijaksana,” katanya.

Budiasa mengimbau umat Hindu agar tetap tenang dan mempercayakan pembahasan wacana ini kepada para pakar yang memahami wariga dan sastra secara mendalam.

“Kita patut bersyukur memiliki banyak pakar wariga dan perguruan tinggi Hindu. Biarkan para ahli yang berembug dan mengkajinya. Sebaik-baiknya suatu persoalan adalah bila diserahkan kepada ahlinya,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN