Dr. Drs. A.A. Gede Oka Wisnumurti, M.Si. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Calon pasangan kepala daerah di enam kabupaten/kota di Bali (Kota Denpasar, Kabupaten Barung, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Bangli, Kabupaten Karangasem, dan Kabupaten Jembrana) telah melakukan pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah masing-masing untuk mengikuti kontestasi politik Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020 mendatang.

Pilkada ini menjadi fenomena politik yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Sebab, pesta demokrasi tersebut bakal melibatkan sekitar 80 persen dari total jumlah pemilih di Pulau Dewata. Apalagi, hampir semua calon kepala daerah bakal bertarung head to head. Dan yang paling manarik adalah fenomena politik di Gumi Keris “Badung”. Karena pasangan calon petahana I Nyoman Giri Prasta dan I Ketut Suiasa (GiriAsa) dipastikan bertarung melawan kotak kosong, pasca-gugurnya paket calon penantang Diatmika-Muntra.

Baca juga:  Surat Suara Bocor di Taipei Jadi Perhatian Bawaslu

Pengamat politik yang juga akademisi Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. Drs. A.A. Gede Oka Wisnumurti, M.Si., mengatakan Pilkada langsung tidak sekadar memunculkan orang-orang yang berkompeten untuk dipilih oleh rakyat, tetapi secara pragmatis demokratis, baik partai politik maupun pasangan calon membutuhkan ongkos politik untuk bertarung. Hanya orang-orang yang memiliki modal ekonomi memadai yang bisa maju menjadi kepala daerah. Apalagi, partai politik pendukung tidak serta merta bersandar pada modal politik yang dimiliki, namun juga memperhitungkan modal ekonomi.

“Ongkos politik yang mahal inilah yang ‘mematikan’ orang-orang yang memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk menjadi pemimpin, karena tidak didukung oleh modal ekonomi yang memadai,”ujar Wisnumurti dalam Bali Post Talk, Senin (7/9).

Baca juga:  Ditegur KPU pada Debat Pertama, Ini Tanggapan Gibran

Menurutnya, dalam proses perpolitikan tidak cukup hanya bermodalkan idealisme, tetapi ongkos-ongkos politik harus difikirkan untuk dikeluarkan oleh kader. Faktor inilah salah satu penyebab Pilkada di Kabupaten Badung harus melawan kotak kosong. Sebab, banyak hal yang harus difikirkan kader untuk maju menjadi kepala daerah.

Kendati demikian, mantan KPU Bali ini mengingatkan calon petahana jangan menganggap remeh ‘kekuatan’ kotak kosong. Meskipun di atas kertas peluang calon petahana memenangkan pertarungan politik lebih besar, namun bagaimanapun juga kotak kosong adalah pilihan alternatif masyarakat untuk menyalurkan hak pilihnya.

Kata Wisnumurti, pasangan calon kepala daerah versus kotak kosong baru pertama kali terjadi di Bali dan tidak menutup kemungkinan terjadi di kabupaten/kota lain. Oleh karena itu, calon petahana wajib gencar menyosialisasikan visi-misinya untuk menuai dukungan pemilih. Meski tensi politik berjalan landai, petahana sangat membutuhkan legitimasi dari pemilih untuk meneruskan kekuasaannya lima tahun ke depan.

Baca juga:  Ini, Empat Dokumen Wajib dalam Pendaftaran Calon Pilkada

Tugas yang tidak mudah ini juga dihadapi jajaran KPU Badung. Terutama bagaiaman cara merangsang para pemilih datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada 9 Desember 2020. Sebab, jika kotak kosong yang menang, maka pemerintah di atasnya akan menunjuk seorang pejabat (Pj) memimpin daerah tersebut selama lima tahun. Artinya, kepemimpinan Pj tersebut tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat karena yang bersangkutan ditunjuk setelah pilkada selesai. (Winata/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *