Viraguna Bagoes Oka. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pada 2017, ada satu BPR (Bank Perkreditan Rakyat), KS Bali Agung Sedana yang dilikuidasi. Sementara tahun ini ada dua BPR sekaligus yang dilikuidasi (BPR Legian dan BPR Calliste).

Likuidasi BPR ini menjadi perhatian karena memberi multiflier efek pada lembaga ekonomi dan sektor ekonomi lain. Pengamat ekonomi Viraguna Bagoes Oka mengatakan, di hulu, kinerja perbankan, utamanya BPR mengalami pelemahan karena otoritas pengawasan yang dulunya masih menjadi satu. Namun, kini ada dua yakni Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Dengan pisahnya BI dan OJK, ini mendapat tantangan baru, artinya makro dan mikro koordinasinya menjadi lebih panjang karena BI dan OJK terpisah,” ujarnya Kamis (15/8).

Baca juga:  Hipkar : Ada Pengusaha Ditawari Kredit untuk Bayar Tunggakan Bunga

Dengan terpisahnya regulator itu, fungsi–fungsi yang membidangi atau membawahi maupun membina industri perbankan menjadi agak lebih panjang. “Karena dari sisi dana kan dulu ditanggung penuh oleh BI, operasional ditanggung BI. Dengan pisahnya ini, OJK dari sisi pendanaan harus memungut iuran dari bank–bank untuk kegiatannya. Belum lagi sumber daya manusianya menjadi agak luas jangkauannya karena ada asuransi, lembaga finance, baik yang bank maupun non bank, sehingga fokusnya menjadi lebih kompleks,” beber mantan Kepala BI KPw Bali ini.

Akibatnya, untuk memberikan perhatian yang fokus terhadap bank umum atau BPR menjadi agak lebih lambat atau kurang terkonsentrasi dengan baik. Bank umum orientasinya adalah customer atau industri yang menengah ke atas dengan cost of money-nya yang bisa lebih murah. Sedangkan BPR pangsanya adalah menengah ke bawah, rakyat kecil dengan jangkauan lebih luas.

Baca juga:  Daftar Online di BRSU Tabanan Masih Minim Peminat

Ia menyebut industri BPR dalam mengurus bank memerlukan biaya yang lebih tinggi dari bank umum, karena harga cost of money-nya berbeda dengan bank umum. Harga uang antarbank umum lebih murah, sesuai ketentuan regulator. “Misalnya suku bunga BI 7 persen, mungkin dia jual 7,5 persen–8 persen. Sementara BPR, cost of money-nya jadi lebih mahal karena lebih kecil dan networknya terbatas. Belum lagi biaya risiko, biaya margin, landing rate pasti jauh lebih tinggi. Kalau bank umum bisa lempar 12 persen, BPR lemparnya paling tidak 17 persen,” jelasnya.

Baca juga:  BI Laporkan Kinerja NPI Triwulan IV 2022 Alami Surplus

Ia berharap, ke depan OJK harus bisa mengambil langkah terobosan dengan memberikan keringanan tertentu untuk menolong bank-bank yang sebetulnya masih bisa ke luar dari posisi yang sulit. Misalnya memberi extra treatment, seperti bantuan KUR yang biayanya jauh lebih rendah. Sehingga, BPR tersebut bisa mendapatkan income dari kredit–kredit baru yang lebih murah untuk menggerakan ekonomi usaha yang terkena ancaman biaya bunga atau biaya cost of fund.

Ditambahkannya, pemerintah harus menyediakan program dana murah untuk menggerakkan dan membantu usaha–usaha yang punya potensi untuk maju tapi terbebani dengan bunga. Bisa juga melakukan re-sechedule kredit–kredit yang bisa diberi kelonggaran. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *