Suasana pembahasan revisi Perda RTRWP Bali. (BP/rin)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sempat terjeda Pemilu Serentak, pembahasan revisi Perda No.16 Tahun 2009 tentang RTRWP Bali kembali berlanjut antara eksekutif dan legislatif di DPRD Bali, Senin (6/5). Demi alasan untuk mewujudkan pemerataan, sejumlah rencana pembangunan infrastruktur tampak diakomodir dalam revisi tersebut.

Mulai dari jalan, bandara di Buleleng, hingga rencana kereta api. “Infrastruktur menyangkut ruang-ruang seperti jalan, masalah bandara juga, kemudian ada rencana untuk jalan kereta api. Bagaimana agar tidak terfokus di kawasan selatan saja, tentu kan harus digeser juga pada kawasan-kawasan tidak di Sarbagita ini,” ujar Ketua Pansus Revisi Perda RTRWP, I Ketut Kariyasa Adnyana dikonfirmasi usai rapat.

Menurut Kariyasa, daerah-daerah di Bali cenderung makmur karena sektor pariwisata, seperti halnya di Badung. Walaupun sudah ada pembagian PHR dari Badung, namun kabupaten lain tidak boleh dianaktirikan.

Sebab, PHR saja tidak bisa menyelesaikan permasalahan secara keseluruhan di kabupaten penerima. “Di beberapa daerah, ada usulan dari kabupaten/kota agar dibuka menjadi kawasan pariwisata. Tentu dengan kaidah-kaidah agar tidak mengganggu Bali secara umum. Seperti contoh daerah hulu, umpama di Bedugul, Munduk, Kintamani, dengan kemiringan tertentu tidak boleh dijadikan kawasan pariwisata,” jelas Politisi PDIP asal Busungbiu, Buleleng ini.

Baca juga:  Empat Tahun Kepemimpinan Koster-Cok Ace, Keberhasilan Infrastruktur Wajib Didukung Pengelolaan Lingkungan Prima

Namun pada daerah tertentu, lanjut Kariyasa, seperti Goa Lawah dan Nusa Penida di Klungkung bisa dijadikan kawasan pariwisata. Kemudian di Buleleng, seperti Batu Ampar dan Air Sanih serta daerah-daerah lainnya. “Sekarang sektor pariwisata itu adalah sektor yang paling menjanjikan untuk peningkatan pendapatan daerah dan untuk pengentasan kemiskinan dan kemajuan kabupaten/kota,” imbuhnya.

Untuk segera mewujudkan pemerataan di Bali, Kariyasa menyebut pembangunan infrastruktur memegang peranan penting. Diantaranya, pembangunan shortcut yang menjadi skala prioritas untuk mewujudkan keseimbangan Bali selatan dan Bali utara. Kemudian dengan Bali timur, dilakukan pengembangan Nusa Penida dengan perbaikan pelabuhan.

Baca juga:  Dua Anggota DPRD Bali Tak Terima Alokasi Hibah Dipangkas

Sedangkan dengan Bali barat, secara garis besar akan dibangun kereta api lingkar dan jalan tol. Di samping shortcut untuk mengurai kemacetan di jalur Denpasar-Gilimanuk. “Ada juga beberapa usulan baru karena prestasi Bali dengan kemenangan Jokowi, seperti di Gunaksa akan dimanfaatkan untuk Pusat Kebudayaan Bali,” ucapnya.

Berkaitan dengan dermaga Tanah Ampo, Kariyasa mengatakan, tetap diusulkan oleh gubernur menjadi dermaga kapal pesiar. Namun dengan dibuatkan pemecah gelombang agar kapal bisa bersandar, kemudian penumpang diantar dengan sekoci. Kendati, usulan pihaknya adalah membantu kapal feri untuk penyeberangan Bali daratan-Nusa Penida

Sementara itu, Wakil Ketua Pansus Revisi Perda RTRWP, I Nengah Tamba secara khusus memperjuangkan agar tol Denpasar-Gilimanuk dapat diakomodir dalam RTRWP. Menurutnya, hanya itu satu-satunya cara untuk mewujudkan keseimbangan Bali selatan dan Bali barat.

Baca juga:  Ratusan Liter Miras Dimusnahkan

Kalau tol Denpasar-Gilimanuk terlalu pendek, maka dapat dibangun tol “Bhineka Tunggal Ika” yang melewati Bali, NTB, dan NTT. “Saya harus mengkongkritkan itu di dalam Perda RTRWP ini sebelum saya menyelesaikan tugas. Satu hal lagi adalah bagaimana pusat bisa memberikan insentif kepada eksistensi adat dan budaya Bali. Itu kan sudah dituangkan dalam Perda Desa Adat,” ujar Politisi Demokrat asal Jembrana ini.

Siapa nanti yang akan mengerjakan tol, lanjut Tamba, merupakan masalah teknis. Terpenting sudah ada payung hukum, maka investor akan datang dengan sendirinya. Menurutnya, tol Denpasar-Gilimanuk sudah sempat diakomodir namun di pinggir pantai.

Hal itu disebut tidak mungkin. “Di bibir hutan saja, karena kemungkinannya kita bisa bekerjasama dengan pihak Kehutanan. Jadi, untuk investasi tidak terlalu mahal. Pemrakarsa tidak perlu membeli tanah,” jelasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *