BPJS
BPJS Kesehatan. (BP/dok)

Oleh Ketut Sugiartha

Salah satu wacana menarik belakangan ini adalah tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) yang mengalami defisit anggaran. Utangnya yang mencapai Rp 11,5 triliun membuat kita prihatin. Guna mengatasi masalah itu, BPJS telah berusaha melakukan penghematan termasuk di antaranya membuat keputusan menghentikan penjaminan obat kanker Trastuzumab. Namun, kebijakan itu berbuntut kegaduhan, sampai membuat Presiden Joko Widodo bersama Menteri Kesehetan Nila F. Moeloek, BPJS Kesehatan dan Dewan Pertimbangan Klinis Kemenkes digugat ke Pengadilan oleh pasien kanker payudara bernama Juniarti.

Saat akumulasi utang kian mengkhawatirkan, menghemat pengeluaran adalah upaya wajar. Dan dihentikannya penjaminan obat kanker di atas oleh BPJS sejak 1 April 2018 bukan saja oleh sebab harganya mahal tetapi juga karena tidak memberikan efek klinis yang bermakna menurut Dewan Pertimbangan Klinis (DPK).

Terlepas dari gugatan itu, sebagai bentuk kepedulian terhadap masalah yang menimpa BPJS dan terutama karena investasi kesehatan untuk rakyat akan meningkatkan produktivitas negara, pemerintah telah memutuskan untuk menggelontorkan dana talangan Rp 4,9 triliun lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 113/PMK.02/2018 yang terbit 10 September lalu.

Dilihat dari jumlah suntikan dana, jelas itu merupakan solusi sementara. Uang yang berasal dari cukai tembakau daerah itu hanya cukup untuk mengatasi sebagian masalah. Apalagi diperkirakan total utang BPJS sampai akhir tahun ini akan mecapai Rp 16,5 triliun. Bagaimana nasib BPJS pada tahun-tahun berikutnya? Apakah dana talangan dari pemerintah akan terus mengalir?

Jika terus-menerus memikul beban utang, ada kekhawatiran pada gilirannya BPJS akan keteteran, tidak mampu lagi mengemban tugas mulianya dengan baik. Karena itu, penyelamatan BPJS merupakan kebutuhan mendesak. Bukan hanya menyuntikkan dana seperti yang telah dilakukan pemerintah tetapi perlu juga dicarikan cara lain yang lebih efektif.

Baca juga:  Peran Guru dalam Pendidikan Kejujuran

Selalu penuhnya areal parkir di sebagian besar rumah sakit akhir-akhir ini merupakan indikasi bahwa masalah kesehatan di negeri ini masih mejadi pekerjaan rumah serius bagi bangsa ini. Poli jantung, kanker, dan interna antreannya selalu panjang. Pasien-pasien dengan penyakit degeneratif semakin banyak. Siapa pun tahu bahwa penanganan kasus seperti itu membutuhkan biaya tidak sedikit.

Wajar jika BPJS kelimpungan jika dana iuran yang terserap tidak memadai apalagi ada kabar miris bahwa beberapa pemda masih menunggak pembayaan iuran. Di tengah pro dan kontra terhadap penyelengaraan pelayanan BPJS Kesehatan dengan kelebihan dan kekurangannya, kita patut bersyukur karena keberadaan BPJS telah membantu meringankan beban rakyat dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan, terutama rakyat yang tidak mampu. Mereka yang tadinya hanya bisa bermimpi berobat ke rumah sakit, guna memperoleh tindakan medis yang layak untuk penyakit yang tergolong berat, sekarang menjadi kenyataan. Semua itu dimungkinkan karena pendekatan gotong royong atau subsidi silang yang diterapkan dalam program BPJS.

Rekomendasi Obat Herbal

Jika obat tertentu yang berharga mahal bisa diganti dengan obat lain yang relatif lebih murah, mengapa pemerintah tidak merekomendasikan penggunaan obat terakhir? Kita tahu obat tradisional yang dikenal dengan nama herbal harganya relatif lebih murah namun memiliki khasiat yang tidak kalah manjur dan tidak menimbulkan efek samping jika digunakan dengan benar. Negara maju semacam Prancis dan Amerika Serikat, misalnya, yang mengrapresiasi penggunaan obat herbal ayurveda sebagai pendamping obat kimia sintetis mestinya bisa ditiru.

Baca juga:  RUU Permusikan Belum Final

Betapa tidak, ayurveda telah banyak dipergunakan dalam sistem pengobatan modern. Hal ini dipicu oleh banyaknya penelitiah ilmiah yang dilakukan dan telah membuktikan betapa efektifnya peran herbal pada kesehatan manusia.

Saat ini, teknologi kedokteran berkembang pesat yang ditandai dengan adanya bedah sinar laser, alat deteksi canggih seperti CT-Scan, USG, dan rontgen, pengobatan alami juga mengalami kemajuan yang signifikan. Tidak hanya di negara-negara berkembang, di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa, pola hidup kembali ke alam juga sedang menjadi tren di mana pengobatan alami juga diterima sebagai pendamping pengobatan kimiawi.

Ada alasan kuat mengapa penggunaan obat herbal patut direkomendasikan. Masyarakat kita sudah sejak lama mengenal tanaman obat; tumbuhan yang berkhasiat menghilangkan rasa sakit, meningkatkan daya tahan tubuh, membunuh bibit penyakit, dan memperbaiki organ yang rusak serta menghambat pertumbuhan tidak normal seperti tumor dan kanker.

Penggunaan herbal sebagai obat sudah dilakukan dari generasi ke generasi selama ribuan tahun sehingga herbal dikenal sebagai obat nenek moyang. Tetapi dengan masuknya pengobatan modern di Indonesia, yang ditandai dengan didirikannya Sekolah Dokter Jawa (Stovia) di Jakarta pada 1904, maka secara bertahap dan sistematis penggunaan herbal sebagai obat ditinggalkan. Sejalan dengan masuknya modernisasi terutama dalam aspek pendidikan maka pola hidup tradisional terkikis.

Berdasarkan fakta itu maka dapat disimpulkan penggunaan obat herbal sudah merupakan bagian dari tradisi masyarakat tradisional kita. Jika dulu dikonsumsi dalam bentuk minuman jamu, sejalan dengan kemajuan teknologi dan setelah melewati proses penelitian atas indikasi dan kontra indikasinya, kini herbal sudah bisa dikemas dalam bentuk kapsul dan sudah banyak yang mendapat izin edar dari BPOM. Masalahnya, baru hanya segelintir dokter yang mau memasukkan obat herbal ke dalam resep yang ditulisnya.

Baca juga:  Percepat Penanganan COVID-19, Ini Permintaan DPRD Badung ke Pemkab

Mengapa sebagian besar dokter enggan meresepkan obat herbal? Ada sinyalemen ini terkait dengan kepentingan bisnis obat kimia sintetis. Jika obat herbal juga diresepkan oleh dokter dan digunakan di banyak rumah sakit sudah barang tentu laba produsen obat kimia sintetis akan berkurang. Tetapi ada dokter yang memberikan alasan yang bisa dijadikan pertimbangan, yakni: kebanyakan obat herbal yang beredar tidak mencantumkan secara spesifik indikasi dan kontra indikasi pada kemasan produknya.

Upaya pembedahan terhadap pengobatan herbal dari sumber lontar oleh mahasiswa dan dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana baru-baru ini (Bali Post, 24 September 2018), merupakan angin segar bagi pengembangan obat herbal. Menurut Dekan FIB Unud, Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, pusat kajian lontar Unud telah mengeluarkan produk inovasi berupa Kamus Tanaman Obat. Rencananya, berdasarkan kamus tersebut, ke depan akan dibuat produk obat herbal yang diharapkan akan mendapatkan hak cipta.

Sayang sekali jika BPJS Kesehatan, yang baru saja meraih 9 penghargaan internasional dari International Social Security Association (ISSA), harus hidup dengan kondisi finansial yang tidak sehat. Untuk membantu BPJS keluar dari masalah ini, merekomendasikan penggunaan obat herbal sebagai pendamping obat kimia sintetis bisa dijadikan salah satu alternatif. Dan untuk itu diperlukan kebijakan dari pemangku kepentingan di bidang kesehatan masyarakat.

Penulis, peserta BPJS Kesehatan Mandiri, tinggal di Tabanan

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *