I Gst. Ag. Kt. Sudaratmaja. (BP/Istimewa)

Oleh I Gst. Ag. K. Sudaratmaja

Istilah hilirisasi kini menjadi viral di tengah hiruk-pikuk perhelatan politik menjelang Pemilu 14 Februari 2024. Dengan pendekatan hilirisasi akan didapat nilai tambah yang kemudian ditawarkan kepada masyarakat pemilih sebagai konsep penguatan ekonomi atau sumber daya lainnya. Satu di antara hilirisasi yang ada juga menyangkut hilirisasi budaya, yang bisa dicermati di berbagai media massa.

Menjelang pelaksanaan Siwaratri tanggal 9 Januari 2024, penulis sempat membaca cerita Lubdhaka karya Mpu Tanakung yang hidup di zaman kerajaan Majapahit. Di awal kisah disebutkan Mpu Tanakung bersabda ‘’wruh ngwang nisphalaning mango jenek alanglang i kalangenikang pasir wukir’’ yang artinya: aku tahu tiada hasil jika ini (cerita Lubdhaka) dicermati seperti pelancong yang hanya berhenti sejenak karena kagum pemandangan laut dan gunung. Analog dari ungkapan tersebut Mpu Tanakung menghendaki cerita Lubdhaka tidak hanya dinikmati keindahan lapis luarnya saja, dan yang lebih penting daripada itu adalah makna simbolik yang terkandung di dalamnya.

Hilirisasi setidaknya mengandung empat hal yaitu: (a) adanya bahan baku dalam hal ini adalah teks cerita Lubdhaka, (b) adanya proses pengolahan dalam bentuk diskusi dan pendalaman makna, (c) didapatnya produk baru dalam hal ini makna simbolik dan sedapat mungkin relevan dengan kehidupan sekarang, dan (d) produk baru tersebut dapat menjawab tantangan jaman. Cerita Lubdhaka yang lahir di awal Abad 14 oleh sang rakawi tentu ditulis sesuai dengan eranya pada jaman Prabu Hayam Wuruk. Tugas dalam mengaktualisasikan cerita Lubdhaka adalah bagian dari pesan Mpu Tanakung yang sudah sejak awal mengisyaratkan bahwa cerita Lubdhaka adalah “satwa makulit’’ (cerita yang masih terbungkus kulit) yang perlu dikupas untuk pemaknaannya sehingga sesuai dengan zaman.

Baca juga:  Banyak Salah Kaprah, Siwaratri Bukan Hari Penghapusan Dosa

Menyadari hal tersebut sebagai tetua adat di Desa Blahkiuh, sejak tiga tahun terakhir penulis berupaya mengaktualisasikan cerita Lubdhaka dalam setiap perayaan Siwaratri dengan melibatkan kalangan Yowana (Generasi Muda). Konsep ini penulis bungkus dengan akronim ‘’Siwarinov’’ yaitu Siwaratri Inovatif di mana setiap Yowana Banjar mempresentasikan ringksasan cerita Lubdhaka dalam perspektif milenial.

Terjadi diskusi yang menarik di antara mereka yang kemudian bermuara pada makna simbolik kekiniaan yang disepakati. Penyaji dan penanya terbaik diberi reward hadiah dari Desa Adat, bahkan beberapa kali ada juga hadiah spontan dari tokoh masyarakat yang hadir
sebagai bentuk apresiasi.

Baca juga:  Layang-layang, Nyawa, dan Listrik

Hilirisasi Budaya Cerita Lubdhaka Kisah Lubdhaka yaitu seorang pemburu yang kemalaman di tengah hutan,
kemudian harus memanjat pohon bila untuk melindungi dirinya dari sergapan binatang buas. Untuk membunuh rasa kantuk yang menyerang, dia kemudian memetik daun bila dan dijatuhkan ke bawah dan kebetulan di bawah pohon tersebut ada kolam dengan bangunan lingga.

Setelah begadang sampai pagi kemudian Lubdhaka pulang tanpa hasil buruan, dan semenjak pengalaman itu dia berhenti berburu. Diceritakan setelah Lubdhaka meninggal kemudian Hyang Siwa memerintahkan pengikutnya untuk menjemput roh Lubdhaka untuk masuk surga, karena perilakunya beryoga saat Siwalatri.

Hal ini di kalangan para dewata ternyata menimbulkan pro dan kontra. Jika cerita Lubdhaka hanya dipahami sebatas itu tentu tidak menarik bagi masyarakat
khususnya generasi muda.

Berikut adalah sedikit contoh hasil diskusi Siwarinov (Siwalatri Inovatif) di Desa Adat Blahkiuh dalam tiga tahun terakhir: (a) disepakati Lubdhaka sebenarnya adalah potret diri kita sendiri; (b) hutan lebat tempat berburu itu adalah kehidupan kita di tengah masyarakat dengan kompleksitas permasalahannya; (c) binatang buas yang ditakuti saat ini sudah berubah menjadi wujud narkoba, minuman keras, sex bebas dan perbuatan amoral lainnya; (d) ada saatnya sekejam apapun manusia (Lubdhaka sebagai pemburu) akan sadar pada perbuatan dosanya; (e) naik pohon bila untuk menghindari binatang buas (point c), analog dengan kita mencari perlidungan spiritual misalnya ke merajan, pura, pesraman dan tempat kreatifitas positif lainnya; (f) sekelam apapun masa lalu kita masih ada masa depan untuk berbuat baik; (g) begadang atau jagra sambil memetik daun bila analog dengan ketekunan dan kesadaran membaca kitab suci; (h) ada titik kulminasi yang harus diyakini bahwa setelah masa paling gelap (pangelong ping 14 sasih kepitu) secara perlahan pasti akan beralih menuju terang; (h) perilaku Siwalatri dapat kita lakukan setiap saat, mengingat
tantangan kehidupan semakin kompleks.

Baca juga:  Pencegahan Korupsi

Dengan uraian contoh di depan kiranya dapat menjawab kehendak Sang Wiku Mpu Tanakung untuk mengupas makna cerita Lubdhaka lebih mendalam.

Penulis, Tim Analisis Kebijakan Brida Kabupaten Badung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *