Warga berbelanja kebutuhan sehari-hari di pedagang tradisional. (BP/wan)

DENPASAR, BALIPOST.com – Akhir tahun 2018, sejumlah kalangan mengungkapkan optimismenya terkait kondisi ekonomi Bali di tahun 2019. Pertumbuhan diyakini akan berada di atas 6 persen. Menjelang akhir tahun, pertumbuhan tak seindah prediksi. Jangankan di atas 6 persen, menyentuh angka 6 persen saja tak pernah terjadi. Angka tertinggi pertumbuhan ekonomi hanya 5,69 persen.

Optimisme tentang ekonomi Bali tumbuh tinggi di tahun 2019, didasarkan pada beberapa pertimbangan. Di antaranya efek penyelenggaraan IMF-WB Annual Meeting yang diikuti ratusan negara akan mendongkrak kedatangan wisatawan. Masifnya pembangunan infrastruktur terutama pembangunan shortcut Mengwi-Singaraja disebutkan juga menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi.

Sektor pariwisata sebagai penunjang utama ekonomi Bali tumbuh tidak terlalu menggembirakan. Pertumbuhan kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali bahkan tercatat pernah minus. Sementara secara umum masyarakat merasakan kondisi ekonomi masih jauh dari kata menggembirakan.

Berdasarkan rilis terakhir data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, pertumbuhan ekonomi Bali triwulan III 2019 hanya sebesar 5,34 persen dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku (ADHB) tercatat sebesar Rp 64,86 triliun. Pertumbuhan ini mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat tumbuh 6,15 persen (yoy).

Baca juga:  Sedang Tenang, Aktivitas Gunung Agung Alami Deselerasi

Pertumbuhan ini tidak terlepas dari kontribusi akomodasi makan dan minum, yang memiliki porsi tertinggi dengan nilai Rp15,30 triliun. Lapangan usaha pertanian, meskipun persentase pertumbuhannya hanya 4,80 persen, namun kontribusinya terhadap PDRB sebesar Rp8,82 triliun, tertinggi kedua. Transportasi dan pergudangan juga berkontribusi besar terhadap PDRB Bali karena nilainya mencapai Rp6,21 triliun.

Kepala Bank Indonesia Kantor Perwakilan (BI KPw) Provinsi Bali Trisno Nugroho memproyeksi tahun 2020 ekonomi Bali tumbuh 5,70 persen sampai 6,10 persen, lebih tinggi dari prediksi pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2019 yaitu 5,40 persen – 5,80 persen. ‘’PDRB lumayan kuat, inflasi terkendali sesuai target, tingkat kemiskinan terendah setelah DKI yaitu 3,79 persen, tingkat pengangguran terendah se-Indonesia 1,19 persen, pertumbuhan ekonomi bagus dan inklusif,’’ bebernya.

Ia menampik, jika terjadi perlambatan di tahun 2019. Karena pertumbuhan tahun ini dengan membandingkan dengan tahun 2018, yang mana pada saat itu ada event besar di Bali yaitu IMF-WB dan pilgub, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi cukup tinggi yaitu 7,59 persen. Pada 2019, pertumbuhan kembali ke titik normal, sehingga terkesan melambat. ‘’Pada 2018, menghadapi IMF-WB, investasi masif untuk mendukung gelaran IMF–WB, makanya menjelang IMF–WB hingga gelaran selesai, investasi tumbuh besar,’’ imbuhnya.

Baca juga:  DPO Pembunuhan Ditangkap di Pelabuhan Benoa

Berbeda kondisinya dengan 2019, investasi tidak semasif 2018. Namun, ia optimis, tahun 2020, investasi akan kembali menggeliat seiring dengan meningkatnya jumlah wisman.

Ritel Merana

Sektor ritel menunjukkan kondisi yang tidak begitu menggembirakan. Pertumbuhan sektor riil 2019 sangat kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Ketua DPD Aprindo Bali A.A. Ngurah Agung Agra Putra menyampaikan, kondisi di lapangan pada sektor konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 47,57 persen pada PDRB triwulan III 2019 tidak menunjukkan realitanya di lapangan. Di sektor ritel yang sangat erat kaitannya dengan konsumsi rumah tangga, menunjukkan adanya perlambatan.

Pertumbuhan sektor ritel hanya single digit, 2 persenan, yang mana pada kondisi 3-4 tahunan sebelumnya, pertumbuhannya selalu double digit. Hampir di semua kategori FMCG (fast moving consumers good) mengalami penurunan. ‘’Walaupun tahun 2019 ini masih lebih baik dari 2018 yang hanya menyentuh angka 1 persenan,’’ tandasnya, Selasa (24/12).

Baca juga:  Belasan Caleg PDIP Terpilih Datangi KPU Badung

Penurunan pada sektor ritel offline ternyata secara value tidak sebanding dengan peningkatan transaksi di online. Ini menunjukkan bahwa pengaruh online sangat kecil terhadap ritel offline khususnya untuk kategori FMCG, yaitu masih di bawah 5 persen. Dengan demikian, menampik anggapan bahwa perilaku konsumsi masyarakat berubah (shifting) ke hal yang sifatnya leasure (wisata/jalan-jalan) atau dari offline ke online.

Leasure itu hanya dilakukan oleh kalangan masyarakat middle up (menengah atas) tetapi komposisi pasar di Indonesia yang terbesar adalah middle down (menengah ke bawah), dan mereka konsumsinya masih didominasi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. ‘’Jadi hal ini mengasumsikan bahwa, mereka (middle down) tidak belanja karena memang tidak memiliki uang,’’ ungkapnya.

Agra Putra juga mengungkapkan, wisata yang dilakukan oleh kalangan middle up, ternyata lebih banyak dilakukan ke luar Indonesia. Terutamanya sejak harga tiket domestik menjadi mahal. ‘’Jadi mereka lebih memilih ke luar dibandingkan berwisata di dalam negeri,’’ pungkasnya.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *