DENPASAR, BALIPOST.com – Tim Resmob Ditreskrimum Polda Bali menangkap Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra, Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Prov. Bali di Hotel Belligio, Kuningan, Jakarta, Kamis (11/4) dini hari. Penangkapan Caleg DPR RI ini terkait penggelapan dana perizinan proyek di Pelabuhan Benoa senilai Rp 16 miliar dan dikhawatirkan melarikan diri.

Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol. Hengky Widjaja menyampaikan, penangkapan pelaku berdasarkan laporan polisi nomor 151 tanggal 20 April 2018. Pelapor atau korban, Sutrisno Lukito Disastro (58) dan terlapor, Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra (44). “Kejadian tahun 2012. Modus terlapor melakukan bujuk rayu terhadap korban dengan cara berjanji terbitnya persetujuan prinsip dari Gubernur Bali dan perizinan lainnya dalam rangka pengembangan dan pembangunan kawasan Pelabuhan Benoa. Keinginan pelapor (Sutrisno) dalam jangka waktu 6 bulan perizinan selesai dan disediakan dana operasional sebanyak Rp 30 miliar,” tegasnya.

Sementara Direktur Reskrimum Polda Bali Kombes Pol. Andi Fairan mengatakan, penangkapan pelaku dengan kasus penipuan atau penggelapan. “Kenapa kita melakukan penangkapan? Sebenarnya pelaku sudah kami panggil hari Selasa tanggal 9 April. Tetapi pelaku tidak datang. Keesokan harinya pelaku mengirim surat dan minta penundaan pemeriksaan sampai 18 April,” ungkapnya.

Baca juga:  Sejumlah Ruko Dekat Pasar Anyar Terbakar

Pihaknya monitor Senin (8/4) pukul 21.00 Wita pelaku ke Jakarta dan ada indikasi akan melarikan diri. “Saya melihat permohonan pelaku tidak patut dan tidak wajar. Saya langsung mengeluarkan surat perintah penangkapan. Kami khawatir dia akan melarikan diri, walaupun kami sudah mengeluarkan cekal juga,” kata Andi.

Terkait kasus ini, mantan Dirsabhara Polda Sumatera Utara mengatakan, kasus melibatkan pelaku sebenarnya kasus biasa. Berawal Januari 2012, pelaku bekerja sama dengan korban. Korban kaitannya sebagai pemilik dana dan bekerja sama dengan pelaku dalam proses mengurus perizinan di Gubernur atau Pemprov Bali. “Jadi, mereka sepakat untuk membuat suatu perusahaan PT Bangun Segitiga Mas atau BSM. PT BSM kerja sama dengan Pelindo III dalam pengembangan Pelabuhan Benoa,” tandasnya.

Dalam kerja sama ini, diterangkan nanti yang membuat draf kerja sama dengan Pelindo III adalah pelaku. Mengurus izin, audensi dengan gubernur dan Wakil Gubernur adalah pelaku.

Yang mengurus rekomendasi dari gubernur juga pelaku. Termasuk mengurus persetujuan prinsip dari gubenur.

Dalam kesepakatan itu biaya operasional yang disepakati antara korban dan pelaku Rp 30 miliar untuk pengurusan izin prinsip dari Gurbernur Bali. Rinciannya pembayaran pertama Rp 6 miliar diterima pelaku digunakan untuk biaya audensi dengan Gubenrur dan Wakil Gubenur Bali.

Baca juga:  Bali Terkesan "Diobral" di Tiongkok, Ini Reaksi Gubernur Koster

Tahap kedua Rp 10 miliar digunakan pelaku untuk mendapatkan izin rekomendasi dari gubernur. Jadi untuk mengurus rekomendasi gubernur dalam rangka pengembangan Pelabuhan Benoa total biaya yang dikeluarkan korban Rp 16 miliar.

Ternyata sampai tahap kedua menerima dana, rekomendasi dari Gubernur Bali tidak keluar. Sementara dana Rp 16 miliar sudah keluar. “Sampai batas waktu dikasi 6 bulan. Namun rekomendasi tidak keluar maka korban melapor. Dilaporkan tanggal 20 April 2018, hampir setahun,” ujarnya.

Penyidik sudah periksa pihak Pelindo III. Pelindo mengatakan pihaknya hanya tempat pengembangan yaitu reklamasi dan sebagainya. Tapi proyeknya dibangun Kementerian Perhubungan.

Jadi mereka menyampaikan tahun 2012 tidak ada kerja sama dengan pihak lain. Mereka BUMN punya dana sendiri. “Kami berpikir proses penipuannya disitu seakan-akan bisa kerja sama dengan Pelindo, padahal Pelindo berharap tidak ada pihak ketiga,” ujarnya.

Hasil pemeriksaan pelaku, dia mengakui uang tersebut dialirkan kepada pihak lain. Sebenarnya dalam kesepakatan kerja sama ini, menurut Andi, pelaku bertindak atas dirinya sendiri.

Tapi dalam keterangannya mengatakan dana itu ada mengalir kepada tiga orang berinisial J, C dan S. Ketiga orang tersebut sudah diperiksa dan berstatus saksi.

Baca juga:  Resmi! Perda No.9 Tahun 2020 Diberlakukan

Dana yang diserahkan kepada S yaitu Rp 7,5 miliar dan 80.000 Dolar Amerika, J sebesar Rp 1,1 miliar dan C Rp 4,6 miliar. Saksi S dapat jatah karena memberi arahan tentang pihak bisa bantu, C siapkan gambar dan FS, sedangkan J bertugas mengurus menyiapkan legalitas surat-surat ke Pemprov Bali. Sedangkan pelaku mengaku hanya dapat Rp 2 miliar.
“Tapi terus-terang kami akan mendalami kasus ini. Karena ada indikasi dan potensi korupsi. Nanti kami akan buat laporan ke Ditreskrimsus. Dana sebesar Rp 16 miliar digunakan kepihak lain dan bisa masuk ke ranah korupsi,” ujarnya.

Saat digiring ke Rutan Mapolda Bali, Alit Wiraputra pun “bernyanyi”. Ia mengatakan proyek ini sebenarnya digagas tiga orang berinisial S, Jy dan CW. Terkait dana tersebut diserahkan kepada S sebanyak 50 persen dan sisanya dibagi bertiga.

Sebenarnya awal perjanjian proyek ini antara S dan korban. “Saya hanya sebagai pengganti karena beliau (S) putra gubenur saat itu. Saya disuruh menggantikan posisinya. Saya tidak ada niat melarikan diri,” tegas Alit Wiraputra beralamat di Jalan Tukad Bila, Dalung, Kuta Utara ini,(Kerta Negara/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *