Penataan Tukad Badung yang membelah Pasar Kumbasari dan Pasar Badung. (BP/dok)

Oleh Putu Rumawan Salain

Dinamika pembangunan di Kota Denpasar sangat diwarnai oleh kehadiran wisatawan yang setiap tahun meningkat dari berbagai etnis, negara, dan bangsa. Sebagai bagian dari Provinsi Bali, konsep Pariwisata Budaya merupakan pijakan operasional kepariwisataannya. Kota-kota Heritage di dunia bersepakat untuk membangun kota pusakanya dengan pariwisata berkelanjutan. Denpasar sebagai salah satu anggotanya sedang berupaya ke arah tersebut. Heritage terpelihara wisatawan datang, uang bertambah, masyarakat sejahtera.

Tumbuh kembangnya Kota Denpasar yang awalnya dilandasi oleh bentuk pemerintahan kerajaan adalah diwarnai oleh kehidupan dan penghidupan agraris. Pola papan catur dengan jalan yang sempit dan banyak simpangan dengan skala jalan kaki tampak sangat nyaman ketika itu. Kehidupan dan penghidupan agraris perlahan-lahan di intervensi oleh peradaban jasa yang dipopulerkan oleh kolonialis Belanda melalui pembangunan Bali Hotel dan memindahkan pasar yang awalnya terletak di sekitar Kantor Wali Kota sekarang, ke dekat Tukad Badung dan membangun lapangan “alun-alun” di atas lahan bekas hunian para patih kerajaan.

Alun-alun tersebut dikenal sebagai lapangan Puputan Badung (perang antara kerajaan Denpasar dengan Belanda), kini diberi nama Lapangan I Gust Made Agung. Wajah Kota Denpasar semakin banyak dihiasi bangunan kolonial maupun China untuk kawasan pecinan, kampung Arab untuk etnik Arab dan India, Kampung Jawa dan Bugis masing-masing bagi etnis Bugis dan Jawa,

Dua peradaban yang menyelimuti Kota Denpasar, yaitu agraris dan jasa saling menancapkan pengaruh dan kekuasaannya yang dapat dilihat dan dinikmati melalui warisan atau pusaka budaya fisik berupa objek arsitektural. Kaum kolonial menorehkan kehidupan dan penghidupan yang dilengkapi dengan unsur dan fasilitas pendidikan, perdagangan, perkantoran, dan lainnya.

Kehidupan tradisi yang dikawal kerajaan berlangsung berdampingan dengan kehidupan modern “jasa” yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dua-duanya beriringan menanamkan sekaligus melanggengkan pengaruh melalui peraturan dan identitas. Lahirlah, Bali Hotel, SMP Negeri 1, SD Negeri 1, Museum, Kantor Pos, Kantor Gubernur (kini rumah tinggal Gubernur), tangsi Militer, dan beberapa rumah pejabat seperti kediaman almarhum Ida Bagus Rurus (kini Bank Mandiri), rumah almarhum Bapak I Ketut Mandra di Jalan Hasanudin, dan lainnya.

Baca juga:  Dari Menyongsong Era Baru Tanpa Pariwisata hingga Ngotot Bertahan di Hotel White Rose

Tebaran peninggalan Puri maupun Pura, Kuburan maupun Balai Banjar, Desa maupun Landscape berupa hamparan sawah dengan sistem irigasinya “subak” yang merupakan peninggalan masa lalu hingga kini masih dapat dinikmati. Potensi tersebut dijadikan objek sekaligus aset industri Pariwisata sangat cocok dengan latar belakang potensi budaya agraris yang dimilikinya. Tema ataupun konsep Pariwisata Budaya menjadi landasan Pembangunan Bali pada umumnya dan Kota Denpasar pada khususnya. Kini pariwisata cenderung telah tumbuh sebagai ideologi dengan segala dampaknya.

Keseriusan Pemerintah Kota Denpasar merencanakan pembangunan kotanya sebagai kota pusaka telah diakui oleh lembaga dunia, yaitu Organization World Heritage Cities (OWHC) pada 10 Oktober Tahun 2013. Sejak itu warisan budaya benda dan tak benda banyak yang disentuh melalui program pembangunan pemerintah dan banyak di antaranya yang dilaksanakan oleh dan dari peran serta komunitas dan masyarakat.

Khusus untuk produk tradisi asli Denpasar antara lain berupa: Tari Baris Wayang, Tari Baris Cina, Basmerah dan Tradisi Ngerebong diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2018. Selanjutnya akan diajukan agar diakui oleh badan dunia Unesco. Sebelumnya penghargaan yang sama bagi Bali (termasuk Denpasar) memperoleh penghargaan Unesco adalah Wayang (2003), Subak (2012), dan Seni Tari (2015).

Sedangkan warisan budaya benda sangat banyak di Kota Denpasar dapat berupa, benda, bangunan ataupun struktur cagar budaya, dan situs serta kawasan cagar budaya sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Setidaknya tercatat ada 49 Cagar Budaya di seluruh Kota Denpasar, masih banyak lagi yang belum terdaftar, tercatat, maupun dinyatakan sebagai Cagar Budaya.

Baca juga:  Peluang “Echo Boomers” untuk Cuan di Masa Pandemi

Sadar akan banyaknya pusaka yang merupakan aset bagi Kota Denpasar, Pemerintah kota tidak hanya mencatatkannya dalam hasil-hasil penelitian saja, bahkan secara khusus bagi karya fisik arsitektur telah tercatat pula dalam katalog Cagar Budaya. Sebutlah misalnya Pura Belanjong di Sanur, Pura Maospahit di Grenceng, Pura Sakenan, dan lainnya. Sehingga sebagai implementasi Visi Pembangunan Kota Denpasar yang Berwawasan Budaya adalah menjadikan Kota Denpasar sebagai Heritage City.

Namun perubahan juga dapat berlangsung karena dorongan tuntutan hidup yang semakin luas dan banyak pilihan, sehingga harus diakui bahwa terjadi perubahan oleh karena dorongan individu maupun kelompok. Indvidu yang berkumpul merupakan ikatan kelompok di Kota Denpasar dapat berupa Banjar, Desa Adat ataupun juga Klen. Intinya mereka adalah masyarakat pada umumnya, selaku makhluk pelaku budaya. Industri budaya lahir akibat tantangan dari dalam dan luar dirinya.

Perubahan demi perubahan akibat pengaruh di atas tersebut terbukti ketika makin berkembangnya bisnis pariwisata yang berujung pada semakin tingginya perubahan fungsi lahan ataupun kepemilikannya. Hampir ribuan hektar lahan sawah dimangsa untuk berbagai fasilitas pariwisata dan pendukungnya. Akhirnya ruang alami, arsitektur bangunan gedung, dan perilaku manusianya ikut berubah. Memanfaatkan budaya sebagai roh pembangunan menjadi penting agar ideologi dan identitas tidak dihanyutkan oleh perubahan. Bukankah yang abadi dalam pembangunan adalah perubahan.

Jumlah kunjungan wisatawan manca negara langsung ke Bali pada Tahun 2017 sejumlah 5.687.739 orang dengan 5 negara terbanyak adalah China, Australia, India, Jepang dan Inggris. Jumlah ini akan menjadi 12 juta lebih jika ditambahkan lagi dengan kedatangan wisatawan domestik. Sedangkan perhitungan untuk Tahun 2018 terhitung sampai dengan bulan Agustus jumlah wisatawan manca negara yang langsung datang ke Bali berjumlah 4.097.982 orang.

Baca juga:  Ubud Jadi Fokus Pengamanan di Gianyar, Seribuan Personil Dikerahkan

Jika dibandingkan kedatangan wisatawan rata tiap bulannya untuk tahun 2017 dengan 2018, terlihat bahwa wisatawan kian meningkat di Tahun 2018. Demikian pula untuk kehadiran wisatawan domestik di tahun 2018. Walaupun ada tanda-tanda bahwa Gunung Agung meletus, kejadian gempa di Pulau Lombok, maupun di Palu-Sulawesi, tidak menyurutkan kehendak orang untuk bepergian, khususnya ke Bali dan tentunya Denpasar.

Walaupun seluruh wisatawan domestik dan manca negara tidak semuanya tidur di Denpasar dengan penduduk sekitar 900.000 jiwa yang tingal di atas lahan seluas 127,78 km² atau 2,18 persen dari luas wilayah Provinsi Bali. Posisi strategis Kota Denpasar yang juga sebagai lokasi Ibu Kota Provinsi Bali menjadikannya kota yang berfungsi sebagai kota pariwisata, disamping fungsi-fungsi lainnya.

Kenyataan ini dijadikan tantangan dan peluang oleh Pemerintah Kota Denpasar untuk dapat menarik jumlah wisatawan lebih banyak dan lebih lama tinggal dengan mengajak investor dan masyarakat mengembangkan Pariwisata sekaligus melestarikan aset heritage kota sebagai daya tarik wisatawan.

Keinginan tersebut kiranya tidak berlebihan, mengingat berbagai penghargaan terhadap pembangunan pariwisata di Bali sejak 2001-2009 dengan predikat The Best Island of The World, tahun 2009 yang lalu memperoleh predikat sebagai The Best Spa Destination. Kemudian tahun 2010  mendapatkan penghargaan sebagai destinasi terbaik di Asia Pasifik. Selanjutnya tahun 2015 memperoleh peghargaan sebagai Pulau Pariwisata dunia terbaik kedua. Dan beberapa penghargaan lainnya hingga tahun 2018.

Penulis, Guru Besar Arsitektur Fakultas Teknik-Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *