Alih fungsi lahan di Kota Denpasar terus terjadi setiap tahunnya. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pariwisata Bali kian berkembang yang pembangunan begitu masif hingga ke pelosok. Pemerataan ekonomi memang memberi sisi positif. Namun dampak negatif tentu ditinggalkan, mulai dari alih fungsi lahan hingga makin terhimpitnya penduduk lokal.

Pengamat Ekonomi Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M saat diwawancarai, Minggu (28/12) mengatakan, pembangunan pariwisata Bali selama 5 tahun terkahir menunjukan tren yang terus meluas hingga ke polosok dengan dampak ekonomi yang berlapis.

Beradasarkan data BPN, kata dia, luas lahan sawah di Bali mengalami penurunan signifikan sebesar 6.521,81 hektare atau sekitar 9,19 persen dalam rentang waktu 2019 hingga 2024. Sebagian besar lahan beralih fungsi menjadi kawasan pariwisata dan permukiman urbanisasi.

Wilayah strategis seperti Kota Denpasar mencatat penurunan lahan sawah hingga 38,03 persen selama 6 tahun terakhir disusul Kabupaten Gianyar dan Tabanan. “Sementara itu di Kabupaten Badung, konversi lahan produktif semakin meningkat dari 26,03 hektare di 2020 menjadi sekitar 348 hektare pada 2024, menunjukkan percepatan alih fungsi lahan produktif menjadi proyek pariwisata dan properti,” ungkapnya.

Baca juga:  Gubernur Koster Lepas 215 Kontingen POPNAS 2023

Menurut Guru Besar Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) ini, perekonomian Bali memang sangat bergantung dari sektor pariwisata. Jumlah kunjungan wisatawannya pada 2024 tercatat 6,3 juta orang dan diproyeksikan meningkat pada 2025 menjadi 7 juta orang. Kondisi ini tentu diharapkan akan mendorong pertumbuhan sektor jasa seperti perhotelan, restoran serta usaha kecil di bidang kuliner, pemandu wisata dan UMKM yang terintegrasi pada kegiatan pariwisata.

Namun, dampak negatif ke depan tengah menunggu terutama dari masifnya alih fungsi lahan yang terjadi termasuk dalam bidang ekonomi. Pertama menurut Prof Raka, penurunan lahan produktif menyebabkan Bali semakin bergantung pada pasokan luar daerah untuk kebutuhan pangan, yang berpotensi mendorong kenaikan harga lokal dan menurunkan ketahanan ekonomi rumah tangga yang dulu bergantung pada agrikultur.

Selain itu, alih fungsi lahan yang terus terjadi juga menimbulkan kenaikan nilai tanah secara spekulatif, memperlebar kesenjangan ekonomi antara pemilik modal besar yang terlibat dalam investasi pariwisata dan masyarakat lokal yang tidak memiliki aset tanah.

Baca juga:  Pertanian Berbasis Kesejahteraan

“Kebijakan baru seperti Instruksi Gubernur Bali Nomor 5 Tahun 2025 yang melarang alih fungsi lahan pertanian sengaja diterbitkan untuk menahan laju konversi dan menjaga ketahanan pangan di tengah tekanan sektor pariwisata,” ungkap Prof Raka.

Demikian struktur ekonomi yang terlalu bergantung pada pariwisata kata dia juga membuat Bali rentan terhadap fluktuasi permintaan wisatawan global dan risiko ekonomi eksternal. Dengan itu, pemerataan ekonomi jangka panjang menjadi tantangan serius bila alih fungsi lahan tidak terkendali.

Sementara itu, Pengamat Pariwisata Prof. Dr, I Putu Anom, M.Par., mengatakan, pembangunan akomodasi pariwisata hingga ke polosok desa tentu akan memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat, jika yang melakukan pembangunan adalah masyarakat lokal. Namun yang terjadi saat ini adalah pembangunan banyak dilakukan wisatwan asing yang menyewa lahan masyarakat lokal dan dia sewakan kembali. Terlebih banyak akomodasi pariwisata kecil saat ini yang tidak berijin sehingga membuat potensi perolehan pajak daerah hilang.

Baca juga:  BNI Salurkan CSR ke Ratusan Nelayan dan Pekerja Pariwisata

Demikian dia juga menekankan, pembangunan akomodasi pariwisata hingga ke polosok seharusnya tidak mengorbankan lahan sawah, melainkan bisa memanfaatkan lahan kecil di belakang rumah sehingga tidak membuat alih fungsi lahan yang masif.

“Yang terjadi di Canggu misalnya, itu kan sawah yang dirubah. Hendaknya pembangunan itu di rumah penduduk, misalnya di teba (kebun belakang rumah) yang bisa dimanfaatkan,” ungkap Prof Anom.

Guru Besar Universitas Udayana ini menekankan agar peraturan dan perijinan harus ditegakkan. Tugas Pemerintah daerah yang memantau pembangunan di daerahnya masing-masing sehingga alih fungsi lahan tidak masif dilakukan. Jumlah akomodasi pariwisata harus didata dan dipastikan berijin serta kepemilikannya adalah penduduk lokal. (Widiastuti/bisnisbali)

BAGIKAN