Sejumlah wisatawan berada di kawasan Penelokan, Kintamani. (BP/ina)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pembangunan akomodasi pariwisata Bali kian masif dan sampai ke polosok desa. Tak hanya Bali Selatan, pariwisata sudah bergeser ke wilayah lainnya seperti Kintamani yang kini tengah booming, Karangasem dan sebagainya. Kondisi ini bak pisau bermata dua.

Di satu sisi mendorong pemerataan ekonomi di seluruh daerah, di sisi lain kian merusak alam Bali yang berdampak pada masifnya alih fungsi lahan.

Salah seorang pelaku pariwisata yang bergerak di bidang manajemen hotel dan vila di Bali, I Nyoman Sudirga Yusa mengatakan, saat ini Bali Selatan, Ubud dan sekitarnya sampai Kintamani tetap menjadi wilayah primadona sebagai destinasi favorit di Bali.

Namun di luar itu ada wilayah lainnya yang kini mulai menggeliat yakni Nusa Penida, Sidemen (Karangasem), Munduk (Buleleng), termasuk Canggu ke barat.

“Tentunya setiap daerah memiliki potensi alam yang menawan dan menawarkan keunikan pariwisita Bali yang masih didominasi oleh tradisi, seni, adat dan budaya dengan panorama alam yang indah,” katanya, Kamis (25/12).

Di sisi lain masifnya perkembangan pariwisata bisa berdampak pada perusakan lingkungan. Menurut Pemerhati Lingkungan Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini., M.Si seharusnya tak ada pembangunan di Hulu. Terlebih dengan kondisi Bali saat ini yang luasan hutan hanya 23 persen dengan tutupan lahan 18 persen dari hutan. Idealnya kata Guru Besar Universitas Udayana ini, luas hutan di setiap daerah itu mencapai 30 persen. Kondisi ini memicu terjadinya bencana seperti banjir bandang 10 September lalu yang menandakan alam Bali telah rusak baik di hulu atau pun hilir.

Baca juga:  Bali Tambah Korban Jiwa COVID-19, Pasien Sembuh Capai Belasan Orang

Untuk keberlangsungan Bali dan pariwisatanya, kata Prof Kartini penting untuk menjaga hulu dan hilir. “Hulu jangan dijadikan objek pariwisata, itu kan sudah jelas ada di Bisama Batur Kalawasan. Peliharalah hutan dan laut jangan mengambil ranah-ranah yang sangat berpotensi bencana. Dengan membangun di sana akan menimbulkan bencana. Misalnya membangun di pinggir danau, ketika air danau meluap bukan danau yang salah, tapi kita yang membangun karena 50 meter dari danau itu harusnya pepohonan,” terangnya.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengatakan, saat ini kondisi pariwisata tengah menjadi paradoks. Kunjungan wisatawan meningkat, namun okupansi menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

“Data BPS melihat, turun dia. Dari tahun lalu rata-rata 68 persen, sekarang di bawah 60 persen,” katanya.

Baca juga:  Mendesak, Pembangunan Bandara Alternatif di Bali

Hal tersebut dikarenakan banyaknya wisatawan yang beralih ke akomodasi kecil seperti vila, homestay hingga kos elite. Kabar buruknya, akomodasi ini banyak yang tak berizin, sehingga selain memberi kesenjangan bagi akomodasi yang berizin, juga membuat banyak potensi pendapatan asli daerah (PAD) yang hilang.

Di sisi lain Pengamat Pariwisata dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Putu Anom, B,Sc.,M.Par., mengatakan, pembangunan pariwisata sampai ke desa-desa tentu menjadi hal positif bagi perekonomian yang bisa memberikan dampak secara menyeluruh.

Namun yang perlu digarisbawahi dan dipastikan, pembangunan tersebut hendaknya dilakukan oleh penduduk lokal bukan warga negara asing (WNA) yang menyewa lahan pada orang lokal kemudian dibangun untuk disewakan.

Saat ini di Bali ada ribuan hotel, vila, dan pondok wisata. BPS 2024 menunjukkan ada 593 hotel berbintang, 417 di antaranya di Badung, sementara data Dinas Pariwisata Bali mencatat lebih dari 12.000 unit akomodasi secara keseluruhan (hotel, vila, dll.), menjadikan Bali sebagai destinasi dengan akomodasi terbanyak di Indonesia.

Dari jumlah ini 417 hotel berada di Kabupaten Badung. Dinas Pariwisata Bali mencatat sekitar 12.277 unit akomodasi secara keseluruhan (termasuk hotel, vila, restoran). Bali memiliki 4.154 hotel, menjadikannya provinsi dengan jumlah hotel terbanyak di Indonesia, dengan 550 di antaranya adalah hotel berbintang.

Baca juga:  Bali Masih Laporkan Kasus COVID-19 Harian Capai 2 Digit

Tak hanya pengusaha nasional dan lokal, saat ini banyak WNA yang memanfaatkan lahan penduduk lokal dijadikan akomodasi pariwisata untuk disewakan. Demikian juga dia menekankan pembangunan hendaknya tidak membuat alih fungsi lahan yaitu tidak mengubah sawah menjadi akomodasi pariwisata.

“Yang terjadi di Canggu misalnya, itu kan sawah yang dirubah. Hendaknya pembangunan itu di rumah penduduk, misalnya di teba (kebun belakang rumah) yang bisa dimanfaatkan,” ungkap Prof Anom.

Dia menekankan agar peraturan dan perizinan harus ditegakkan. Tugas pemerintah daerah yang memantau pembangunan di daerahnya masing-masing sehingga alih fungsi lahan tidak masif dilakukan. Jumlah akomodasi pariwisata harus didata dan dipastikan berizin serta kepemilikannya adalah penduduk lokal.

Prof. Anom juga melihat jumlah kamar di Bali saat ini terlalu banyak yang belum terpetakan berapa kebutuhan wisatawan serta peningkatan kedatangan wisatawan. Hal tersebut menurutnya juga hendaknya menjadi pengawasan sehingga ketersediaan jumlah kamar tidak berlebih dibandingkan kunjungan wisatawan. (Widiastuti/bisnisbali)

BAGIKAN