Aktivitas pengolahan sampah anorganik di Bank Sampah Sedap Malam, Desa Nyitdah, Kediri. (BP/bit)

TABANAN, BALIPOST.com – Sampah anorganik yang selama ini dipandang sebagai limbah kini justru disulap menjadi komoditas bernilai ekonomi, bahkan menembus pasar luar negeri. Dari Kecamatan Kediri, Tabanan, sampah plastik hasil pilahan warga setempat diolah menjadi bahan baku daur ulang yang dikirim ke berbagai daerah di Indonesia hingga ke negara-negara Asia.

Pengelolaan sampah anorganik berbasis sumber di Kecamatan Kediri kini kian terarah. Sejak Oktober 2025, seluruh desa di Kecamatan Kediri diwajibkan menyalurkan sampah anorganik ke Bank Sampah Sedap Malam yang berlokasi di Banjar Mengening, Desa Nyitdah. Kebijakan ini tindak lanjut dari instruksi camat serta Pergub Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Tata Kelola Sampah Berbasis Sumber.

Ketua Bank Sampah Sedap Malam, I Ketut Nada mengatakan, cakupan layanan bank sampah yang dipimpinnya kini telah menjangkau hampir seluruh desa di Kecamatan Kediri. Dari total 15 desa, hanya dua desa saja yang tidak mengirimkan sampah ke lokasi tersebut, lantaran sudah memiliki TPS 3R sendiri. “Saat ini kiriman sampah anorganik bisa mencapai lebih dari 1 ton per hari,” ujarnya, Selasa (19/12).

Baca juga:  Dibandingkan Oktober, Ekspor Bali di November Alami Penurunan

Kata Nada, Bank Sampah Sedap Malam berdiri resmi pada 2020, namun pergerakannya telah dimulai sejak masa awal pandemi Covid-19 pada 2019. Saat itu, pengelolaan sampah masih menjangkau lima desa. Bank sampah ini muncul lantaran keprihatinan minimnya realisasi visi-misi pengelolaan sampah oleh pemerintah desa. Nada kemudian berinisiatif membangun sistem pengolahan sampah berbasis sumber dengan cita-cita menekan residu hingga nol atau zero waste.

“Masyarakat kami biasakan memilah sampah dari rumah. Organik ke lubang daur ulang, residu ke TPA Mandung, dan anorganik ke bank sampah,” jelas warga asli Banjar Kebon ini.

Untuk lokasi operasional, Bank Sampah Sedap Malam memanfaatkan tanah milik pemerintah daerah seluas 9,5 are. Dari luasan tersebut, sekitar 8 are digunakan khusus untuk bank sampah, sementara sisanya dimanfaatkan untuk ketahanan pangan dan puskesdes. Lahan yang sebelumnya berupa tanah kosong dan bangunan bekas pasar itu disulap secara bertahap dengan dukungan anggaran pihak ketiga serta penyertaan modal BUMDes.

Dari sisi volume, setiap banjar rata-rata mengumpulkan 500 kilogram sampah anorganik per bulan. Dalam setahun, bank sampah ini mampu mengelola sekitar 200 ton sampah anorganik dari enam desa. Seiring perluasan wilayah layanan menjadi 13 desa, jumlah tersebut tentu akan terus meningkat.

Baca juga:  Oknum Guide Nyambi Jual Narkoba

Dipaparkan Nada, sistem pengelolaan yang diterapkan juga memberi nilai ekonomi bagi warga. Sampah anorganik yang sudah dipilah oleh masyarakat dibeli dengan harga bervariasi, mulai dari Rp100 per kilogram hingga Rp30 ribu per kilogram, tergantung hasil pemilahan. “Manajemennya bertingkat dan bersilang. Masyarakat dapat uang, kader dapat, BUMDes juga dapat,” tegasnya.

Setiap setoran dicatat dalam buku tabungan dan dapat dicairkan oleh warga kapan saja. Saat ini, Bank Sampah Sedap Malam didukung empat unit kendaraan pengangkut serta 20 orang pengurus dan karyawan yang seluruhnya merupakan warga setempat. Sampah anorganik yang terkumpul dipilah, dicuci, dicacah, dan dikeringkan untuk dijadikan bahan baku daur ulang.

Botol plastik jenis PET bahkan telah diekspor ke luar negeri, khususnya di Asia, dengan kapasitas pengiriman mencapai 10 ton setiap tiga bulan. Sementara, hasil cacahan lainnya dikirim ke pabrik daur ulang di Malang dan sejumlah daerah di Jawa.

Baca juga:  Tingkatkan Daya Saing Ekspor, Kemenhub Atur Kelaikan Kontainer

Jenis sampah yang dikelola meliputi lima kategori utama yakni plastik, kertas, logam, busa, dan kaca. Khusus kaca, hasil pilahan dikirim ke pabrik daur ulang di Desa Nyitdah untuk bahan baku industri cat.

Meski demikian, keterbatasan sarana dan tenaga kerja masih menjadi tantangan. Idealnya, dibutuhkan sekitar 50 tenaga kerja agar operasional dapat berjalan setiap hari. Saat ini, proses pencacahan masih dilakukan seminggu sekali, meskipun kapasitas mesin cuci dan giling mampu mencapai delapan ton per hari. “Kami juga membuka kesempatan kerja, dengan gaji training Rp1,5 juta dan setelah jadi karyawan rata-rata Rp2,1 juta per bulan,” ungkap lulusan SMK jurusan Teknologi Pengerjaan Logam tahun 1998 ini.

Harapan ke depan, pada 2026 Bank Sampah Sedap Malam akan mendapat bantuan mesin pelet plastik dan mesin injeksi dari pihak ketiga, yakni PLN. Dengan tambahan fasilitas tersebut, pengolahan sampah tidak lagi berhenti pada bahan baku, melainkan langsung menjadi produk jadi seperti handicraft. “Tata kelola ke depan, sampah langsung menjadi barang berguna,” pungkasnya. (Puspawati/balipost)

BAGIKAN