
DENPASAR, BALIPOST.com – Kualitas beras di Bali selama ini disebut unggul, bahkan produktivitasnya pun tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Namun demikian, di tengah perkembangan pembangunan pariwisata memberi tantangan pada alih fungsi lahan yang membuat luasan lahan pertanian kian menyempit setiap tahunnya.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Provinsi Bali, perkembangan luas lahan baku sawah dalam lima tahun terakhir menunjukan tren penurunan. Pada 2020 luasan lahan baku sawah di Bali tercatat 74.723 hektar. Kemudian pada 2021 berkurang 66 hektar menjadi 74.657 hektar. Selanjutnya pada 2022 kembali berkurang menjadi 71.836 hektar, berlanjut 2023 luas lahan berkurang menjadi 68.560 hektar dan 2024 luas lahan baku sawah di Bali hanya 68.078 hektar.
Kemudian berdasarkan data produksi, mengalami fluktuatif setiap tahunnya. Tercatat pada 2020 jumlah produksi 475.881 ton. Kemudian pada 2021 naik menjadi 489.275 ton, tahun 2022 naik menjadi 514.582 ton, namun tahun 2023 turun menjadi 467.968 ton dan 2024 naik kembali menjadi 471.070 ton.
Menurut Kepala Dinas Pertanian Provinsi Bali, I Wayan Sunada, Selasa (21/10) mengatakan, produksi pertanian sangat berpengaruh terhadap cuaca. Pada tahun 2023 terjadi El Nino yang cukup panjang sehingga membuat tuna taman atau sedikit menanam karena air untuk mengaliri sawah minim. Hal tersebut membuat jumlah produksi pada 2023 menurun. “Produksi beras (padi) sangat bergantung pada cuaca. Jika air sulit, maka petani tidak bisa menanam. Kalau serangan hama masih bisa kita atasi, cuaca ini yang sulit,” ujarnya.
Sementara itu, Pengamat Pertanian Dr. Ir. Ida Bagus Komang Mahardika, M.Si saat mengatakan, produktivitas padi di Bali sangat bagus dengan rata-rata mencapai 7 hingga 8 ton per hektar. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya yang mencapai 5 ton per hektar.
Meski demikian pembangunan akomodasi pariwisata menjadi tantangan bagi petani di Bali yang membuat lahan pertanian terus berkurang setiap tahunnya. Namun disisi lain, masyarakat Bali tidak bisa hanya mengandalkan pertanian menjadi pendapatan utama karena kepemilikan lahan yang minim. “Meski produktivitas tinggi, namun lahan yang dimiliki sempit. Pali petani hanya punya 30 sampai 40 are. Sehingga penghasilan dari bertani tidak mungkin cukup,” terangnya.
Kondisi ini pun menjadi tantangan ke depan jika perhatian ke sektor pertanian tidak ditingkatkan. Kemungkinan petani akan terus beralih mengingat pendapatkan di sektor tersebut kian tidak mencukupi kebutuhan. (Widi Astuti/balipost)