Eskavator sedang melakukan pengerukan sedimentasi di Waduk Muara Nusa Dua oleh BWS Bali-Penida. Pada tahap pertama BWS Bali-Penida menargetkan pengerukan sedimentasi 6.000 meter kubik. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Penanganan infrastruktur dan pengerukan sedimen sungai dan waduk muara menjadi program strategis di Bali. Bahkan, Kementerian PU melakukan langkah khusus dengan mengalokasikan anggaran khusus untuk mengeruk Waduk Muara Nusa Dua.

Targetnya ada 6.000 kubik sedimen yang akan dikeruk target tuntas akhir tahun 2025.

Kasatker OPSDA BWS Bali-Penida, Wayan Riasa mengatakan, pada tahap pertama BWS Bali-Penida menargetkan pengerukan sedimentasi di Waduk Muara Nusa Dua sebanyak 6.000 meter kubik.

“Saat ini telah mencapai 57 persen dan ditargetkan selesai Desember 2025. Untuk tahap selanjutnya akan diadakan pengerukan sedimen melalui dana bencana di Waduk Muara akan dikerjakan juga 20.000 meter kubik,” ungkapnya, Kamis (16/10).

Dikatakan bahwa hasil pengerukan sedimentasi tahap pertama ini dibuang di Desa Pemogan. Ini sesuai dengan permintaan masyarakat Desa Pemogan. “Terkait pembuangannya di wilayah sekitar Desa Pemogan sesuai arahan masyarakat setempat yang membutuhkan tanah hasil galian Waduk Muara,” ungkapnya.

Dalam proses pengerukan, BWS Bali-Penida menerjunkan sejumlah alat berat. Seperti, 2 unit alat eskavator ampibius dan eskavator 1 unit. Sedangkan, Dump Truk menyesuaikan kebutuhan hasil galian. “Kami kerjakan secara swakelola dengan alat yang dimiliki BWS Bali-Penida, sehingga kami tidak sewa,” pungkasnya.

Baca juga:  Setelah Pasar Badung, Jokowi Kunjungi Taman Kumbasari Tukad Badung

Sebelumnya, Kepala BWS Bali-Penida, Gunawan Suntoro menambahkan untuk mengantisipasi bencana hidrologi termasuk banjir di wilayah Denpasar, kini sedang dilakukan proses mengukur ulang debit air Tukad Badung dan Tukad Mati untuk memastikan kapasitas sungai masih mampu menampung limpahan air.

BWS juga akan mengidentifikasi bangunan melintang di aliran sungai yang berpotensi menghambat aliran. “Ke depan kajian sempadan sungai itu butuh waktu karena kami harus mengukur dan melihat histori aliran sungai serta melibatkan banyak stakeholder,” ujarnya.

Sebagai langkah jangka panjang, BWS menyiapkan rencana normalisasi alur sungai dan drainase, pembangunan long storage di Tukad Badung hulu dan Tukad Mati, serta retarding basin di Tukad Mati untuk menampung debit banjir berlebih sekaligus menjaga ketersediaan air tanah.

Pembangunan sodetan sungai juga dipertimbangkan untuk mengalihkan debit ke sungai lain yang kapasitasnya masih mencukupi. Selain itu, penghapusan saluran irigasi lama yang sudah tidak berfungsi akan dilakukan karena kerap berperan sebagai hambatan drainase di kawasan permukiman. Kajian teknis rencana ini akan dimulai pada 2026.

Di sisi lain, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK), I Made Rentin menyampaikan upaya pencegahan juga akan dilakukan melalui penghijauan bantaran sungai bersama Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS). Ia mengatakan beberapa hari lalu pihaknya bahkan sudah melakukan penanaman pohon kembali di bantaran sungai lapangan  tembak.

Baca juga:  Cegah Kembali Rusaknya Dua Sekolah di Sepang Kelod, BWS Diminta Perkuat Tebing Sungai Pulukan

Dalam paparannya, ia senada bahwa banjir di Bali tidak hanya dipicu curah hujan ekstrem, tetapi juga akibat berkurangnya tutupan hutan, alih fungsi lahan, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), sistem drainase yang terganggu, hingga timbulan sampah yang mencemari aliran air.

Berdasarkan data, luas daratan Bali mencapai 563.666 hektare, dengan kawasan hutan seluas 136.827 hektare atau sekitar 24,27 persen. Namun, hingga tahun 2024, tutupan hutan di Bali hanya tersisa 25,27 persen.

Angka ini jauh dari kebutuhan minimal ekologis sebesar 30 persen untuk menjaga keseimbangan tata air. Tren penurunan tutupan hutan terutama terlihat di luar kawasan hutan, dari 59 ribu hektare pada 2017 menyusut menjadi hanya 45 ribu hektare pada 2024.

Alih fungsi lahan menjadi faktor dominan penyebab kerusakan DAS. Kawasan yang semula berfungsi sebagai daerah resapan berubah menjadi permukiman, perhotelan, industri, maupun pertanian intensif. Penebangan pohon, pembangunan jalan dan infrastruktur tanpa sumur resapan, hingga pola pertanian yang tidak ramah lingkungan memperparah erosi dan sedimentasi.

Baca juga:  Atasi Defisit Air Bersih di Bali, Ini Dilakukan BWS Bali Penida

Kajian Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP) menyoroti kerentanan DAS utama di Bali. Tukad Ayung yang memiliki panjang 71,79 km dan luas DAS 30.327 hektare kini didominasi tutupan lahan persawahan (41%) dan permukiman (24%), sementara hutan tinggal 35%.

Tukad Badung sepanjang 19,6 km dengan luas DAS 5.495 hektare sudah 62 persen tertutup permukiman. Sedangkan Tukad Mati yang mengalir ke kawasan wisata Kuta justru 90 persen lahannya sudah berupa permukiman, hanya 10 persen tersisa lahan terbuka.

Hasil analisis hidrologi menunjukkan debit banjir di Tukad Badung pada 10 September mencapai 516,78 meter kubik per detik, jauh melebihi standar kala ulang 50 tahun sebesar 284,66 m³/detik. Tukad Mati mencatat debit 342,2 m³/detik, juga melampaui kala ulang 50 tahun.

Di sisi lain, Tukad Ayung dengan debit 681,19 m³/detik masih mampu menampung banjir berkat dimensi sungai yang besar, sementara Tukad Unda di Klungkung mencatat debit 607,64 m³/detik. (Ketut Winata/balipost)

 

BAGIKAN