Suasana kawasan Mangrove di Denpasar. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Hingga 2024, tutupan hutan di Bali hanya tersisa 25,27 persen. Angka ini jauh dari kebutuhan minimal ekologis sebesar 30 persen untuk menjaga keseimbangan tata air. Demikian disampaikan Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, I Made Rentin, Rabu (1/10).

Ia memaparkan berdasarkan data, luas daratan Bali mencapai 563.666 hektare, dengan kawasan hutan seluas 136.827 hektare atau sekitar 24,27 persen. Tren penurunan tutupan hutan terutama terlihat di luar kawasan hutan, dari 59 ribu hektare pada 2017 menyusut menjadi hanya 45 ribu hektare pada 2024.

Alih fungsi lahan menjadi faktor dominan penyebab kerusakan DAS. Kawasan yang semula berfungsi sebagai daerah resapan berubah menjadi permukiman, perhotelan, industri, maupun pertanian intensif.

Penebangan pohon, pembangunan jalan dan infrastruktur tanpa sumur resapan, hingga pola pertanian yang tidak ramah lingkungan memperparah erosi dan sedimentasi. “Pembuangan sampah ke sungai juga turut mempersempit aliran air dan merusak ekosistem,” ungkapnya.

Selain itu, pembangunan di sempadan sungai dan rawa dinilai makin mempersempit jalur alami air. Saluran drainase buatan yang tidak terintegrasi dengan baik ke sistem alami turut menimbulkan genangan dan memperbesar limpasan permukaan. “Limbah plastik sekali pakai, sampah rumah tangga, hingga puing konstruksi kerap dibuang ke saluran air tanpa pengolahan. Kondisi ini menambah tekanan pada lingkungan dan meningkatkan risiko banjir,” tuturnya.

Baca juga:  Masih Dikerjakan, Rehab SDN 5 Melaya Diperkirakan Tak Sesuai Jadwal

Cegah Kerusakan Makin Parah

Untuk mencegah kerusakan yang makin parah, ia mengatakan upaya penghijauan bantaran sungai bersama Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) digencarkan. Ia mengatakan beberapa hari lalu pihaknya bahkan sudah melakukan penanaman pohon kembali di bantaran sungai Lapangan Tembak.

Selain itu, rehabilitasi hutan dan lahan kritis dilakukan melalui program reboisasi dan penghijauan dengan melibatkan kelompok perhutanan sosial. Gerakan penanaman bersama juga dilakukan di hulu dan hilir DAS Ayung, termasuk bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Bali.

Pada 2024, kelompok perhutanan sosial bahkan telah melakukan reboisasi di kawasan seluas 576,94 hektare dengan 230.779 bibit pohon. Program perhutanan sosial juga menjadi solusi mencegah alih fungsi hutan liar dengan memberikan akses legal kepada masyarakat untuk mengelola hutan secara berkelanjutan.

Kesadaran masyarakat yang dulu kerap melakukan perambahan kini mulai tumbuh menjaga kawasan hutan. Selain itu, upaya menambah luasan hutan dilakukan melalui skema hutan adat.

Hutan Adat di Bali

Saat ini sudah ada enam hutan adat di Bali dengan luas total 971 hektare, dan pada 2025 telah diverifikasi pengajuan tiga hutan adat baru.

Baca juga:  Disiapkan Menjadi Showcase KTT G20, Gubernur Koster Dukung Penataan Hutan Mangrove

Dalam hal perlindungan sumber daya air, Bali telah menerapkan Peraturan Gubernur Nomor 24 Tahun 2020 tentang pelindungan danau, mata air, sungai, dan laut. Sementara untuk mengurangi timbulan sampah, diterapkan Pergub Nomor 97 Tahun 2018 tentang pembatasan plastik sekali pakai serta Pergub Nomor 47 Tahun 2019 tentang pengelolaan sampah berbasis sumber.

“Gerakan bersih sampah plastik di pantai dan pembersihan sampah banjir di pasar tradisional digelar secara rutin,” katanya.

Meski begitu, Rentin menegaskan perlunya langkah strategis lanjutan. Antara lain, memperkuat rehabilitasi hutan dan lahan kritis, penegakan hukum tata ruang untuk mencegah alih fungsi lahan, pembangunan sumur resapan, biopori, embung desa, dan perluasan ruang terbuka hijau di perkotaan.

Pengelolaan sampah harus terintegrasi dengan memperkuat peran desa adat, sementara edukasi lingkungan perlu digalakkan sejak dini melalui sekolah, komunitas, dan desa.

Kerentanan DAS Utama

Sementara dari kajian Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP) menyoroti kerentanan DAS utama di Bali. Tukad Ayung yang memiliki panjang 71,79 km dan luas DAS 30.327 hektare kini didominasi tutupan lahan persawahan (41%) dan permukiman (24%), sementara hutan tinggal 35%.

Baca juga:  Umanis Galungan, Kintamani Ramai Pengunjung

Tukad Badung sepanjang 19,6 km dengan luas DAS 5.495 hektare sudah 62 persen tertutup permukiman. Sedangkan Tukad Mati yang mengalir ke kawasan wisata Kuta justru 90 persen lahannya sudah berupa permukiman, hanya 10 persen tersisa lahan terbuka.

Hasil analisis hidrologi menunjukkan debit banjir di Tukad Badung pada 10 September mencapai 516,78 meter kubik per detik, jauh melebihi standar kala ulang 50 tahun sebesar 284,66 m³/detik. Tukad Mati mencatat debit 342,2 m³/detik, juga melampaui kala ulang 50 tahun.

Di sisi lain, Tukad Ayung dengan debit 681,19 m³/detik masih mampu menampung banjir berkat dimensi sungai yang besar, sementara Tukad Unda di Klungkung mencatat debit 607,64 m³/detik.

Banjir tersebut mengakibatkan kerusakan infrastruktur meluas. Gorong-gorong di Jalan Raya Canggu, jaringan irigasi Tukad Ayung di Mambal dan Kedewatan, serta jaringan di daerah irigasi Apuan Bangli dan Gianyar mengalami kerusakan berat.

Sejumlah jalan provinsi juga terdampak, di antaranya ruas Kerobokan–Munggu–Tanah Lot, Kediri–Marga–Mengwi, Tuakilang–Buruan–Batukaru, hingga jalur Penelokan–Suter–Besakih. Bahu jalan jebol, saluran drainase rusak, dan dinding penahan tanah ambrol. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN