
DENPASAR, BALIPOST.com – Pasar menjadi sumber sampah organik terbesar, maka perlu strategi untuk mengelolanya. Salah satu pasar yang mengelola sebagian sampahnya secara mandiri adalah Pasar Intaran.
Kepala Pasar Intaran, I Made Sugiana saat ditemui, Kamis (9/10), menuturkan, pasar milik Desa Adat Intaran ini menghasilkan 40-50 kg sampah organik per hari atau 80 persen dari total sampah pasar. Untuk mengelola sampah organik, Pasar Intaran membangun teba modern yang hingga saat ini jumlahnya mencapai 17 unit.
Sampah dari 200-an pedagang per harinya langsung dikelola. Untuk itu, pedagang diajak turut memilah sampah. Petugas kebersihan pasar yang jumlahnya 7 orang bertugas mengangkut sampah dari pedagang ke belakang kantor pasar lalu diproses.
Sampah yang belum dipilah, dipilah di sekitar teba modern dan di tempat itu juga langsung dicacah. Hasil cacahan langsung masuk ke lubang teba modern. Menurut Sugiana, agar sampah tak bercampur dan menumpuk, kuncinya adalah langsung diproses sehingga sampah yang dihasilkan per hari langsung diproses.
Dengan alat pencacah yang dapat dipindah-pindah (mobile), memungkingkan petugas kebersihan mencacah sampah organik di dekat lubang teba modern. Sementara, sampah anorganik dibuang ke TPS 3R Sanur Kauh.
Menurutnya, dengan mengelola sampah mandiri dapat menghemat biaya pengelolaan sampah. Meski saat ini biaya pengelolaan sampah yang dikeluarkan per bulan Rp2 juta, namun dengan investasi yang mulai dibangun saat ini, seperti teba modern dan membangun sistem pengelolaan sampah, ke depan biaya sampah dapat ditekan. “Yang penting ada niat, semua orang bisa kelola sampah,” ujarnya.
Sejak bertugas menjadi kepala pasar per Juni 2023, ia mulai memikirkan pengelolaan sampah pasar yang seluas 23 are ini. Mengingat Pasar Intaran merupakan pasar milik desa adat dan berdiri di lahan sewa, maka dalam pengelolaan maupun pembangunan pasar dilakukan secara mandiri.
“Kami termasuk desa miskin karena desa adat tidak punya pelaba pura, lahan pasar dibangun di atas tanah sewa selama lebih dari 50 tahun, sehingga tak bisa mendapat bantuan dari pemerintah,” ujarnya.
Namun hal itu tak menjadi halangan dalam membangun pasar untuk krama. Sampah pasar yang awalnya dikumpulkan di depan pasar telah menimbulkan bau busuk bagi penikmat kuliner malam di pasar itu. Akhirnya tempat pembuangan sampah dipindah, menjauh dari lokasi kuliner yaitu di selatan. Namun, oknum tak bertanggung jawab dari luar pasar membuang sampahnya di tempat tersebut sehingga pengelola pasar kewalahan mengelolanya.
Lalu tempat pengelolaan sampah dipindahkan kembali ke dalam pasar, tepatnya di belakang kantor pasar. Sampah awalnya hanya diswakelolakan ke TPS 3R tapi tak sesuai harapan karena tak semua sampah pasar bisa diangkut tiap harinya. Akibatnya, sampah organik yang tak terangkut berupa ampas daging, ikan, sisa sayur, buah menimbulkan bau busuk.
“Akhirnya kami berpikir untuk tanam saja sampah organik itu di lubang-lubang yang kami buat, tapi cepat penuh karena sampah organik yang dihasilkan per hari di pasar luar biasa banyak,” ungkapnya.
Di tahun 2023, awalnya ia membuat 3 lubang yang saat itu ia belum tahu penamaan lubang tersebut adalah teba modern. Karena penuh, ia membuat 4 lubang lagi lalu bertambah 2 lagi, dan terus bertambah hingga jumlahnya 17 unit. Per unitnya ia hanya menginvestasikan modal Rp1.350.000.
“Karena mudah penuh ,lalu kita berpikir untuk mencacah sampah dengan kita membeli mesin saat itu Rp6,5 juta, sesuai kemampuan kita. Karena kalau tidak dicacah, pembusukannya lama, bisa sampai setahun,” ujarnya.
Ia juga belajar tentang penggunaan cairan agar mempercepat fermentasi sampah. Dengan memanfaatkan tandon air, bantuan tempat cuci tangan saat pandemi Covid-19, cairan fermentasi sampah bisa disimpan dan distok hingga 6 bulan ke depan. Bahkan kini ia bisa membuat obat fermentasi mandiri mengingat bahannya bisa didapat dari pasar sendiri seperti buah sisa dagangan. (Citta Maya/balipost)