Program Makan Bergizi Gratis (MBG). (BP/Dok.)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah daerah merasakan dampak turunnya dana transfer ke daerah (TKD) terhadap kinerja fiskal dan pembangunan di daerah pasca pemerintah bersama Banggar DPR menyepakati anggaran TKD pada 2026 menjadi Rp 693 triliun. Kendati alokasi anggaran TKD tahun depan ditambah, nilai total dana yang akan dialokasikan masih jauh di bawah alokasi TKD yang ditetapkan pemerintah pada 2025 sebesar Rp 848,52 triliun.

Guru Besar Ekonomi dari Universitas Warmadewa, Prof. Dr. I Made Sara, S.E., M.P., di Denpasar, Selasa (30/9) menyampaikan, dalam menghadapi keterbatasan fiskal tersebut, pemerintah daerah agar segera beradaptasi dengan dua fokus utama yaitu menjaga efektivitas program prioritas pusat di daerah serta memperkuat kemandirian fiskal.

Ia juga menilai terdapat sejumlah langkah strategis yang bisa diambil Pemda seperti menjaga efektivitas program pusat di daerah, mekanisme pelaksanaan yang jelas.

Pemda perlu menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang rinci untuk memastikan program seperti MBG, pendidikan, dan kesehatan dapat dijalankan tepat sasaran.

Baca juga:  Dijerat Tipiring, Penipu Catut Nama Banjar Dikenakan Wajib Lapor

Selanjutnya, perlu dibangun sistem koordinasi terpadu agar tidak terjadi duplikasi program atau pemborosan anggaran. Melakukan pengawasan realisasi anggaran pusat di daerah harus diperketat agar manfaat program benar-benar dirasakan langsung oleh masyarakat.

“Pemda harus aktif menggali potensi pendapatan daerah baru, sesuai amanat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD),” ujarnya.

Kemudian, pemda harus efisien. Belanja yang tidak prioritas, seperti tunjangan perumahan DPRD dan operasional seremonial, perlu dirasionalisasi untuk mengalihkan anggaran ke sektor strategis. Pemanfaatan Dana Insentif Fiskal (DIF). DIF dapat menjadi alat kompetisi sehat antar daerah dalam peningkatan layanan publik, pengelolaan fiskal, dan pengendalian inflasi.

“Pemda harus memastikan komponen TKD dasar tetap cukup untuk memenuhi belanja wajib dan operasional agar roda pemerintahan tetap berjalan,” paparnya.

Pemerhati ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mahasaraswati Denpasar, Dr. Made Santana Putra Adiyadnya, M.Si. mengatakan hal sama. Fenomena penurunan TKD dari pemerintah pusat menjadi tantangan nyata bagi keberlangsungan pembangunan daerah. Penurunan TKD yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk Bali, menuntut pemerintah daerah untuk segera melakukan evaluasi dan inovasi dalam strategi pengelolaan fiskal.

Baca juga:  Denpasar Anggarkan “Fogging” Fokus Rp634 Juta

Santana Putra menegaskan, sejak awal TKD sejatinya berfungsi sebagai instrumen untuk mengatasi ketimpangan antarwilayah, bukan sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

“Dengan fenomena penurunan TKD, pemerintah harus kembali memprioritaskan sektor-sektor strategis guna mengatasi disparitas yang ada,” ujarnya.

Menurutnya, Bali selama ini menerapkan model pembangunan ekonomi terpusat yang sangat bergantung pada sektor pariwisata. Ketimpangan yang terlalu besar antara sektor pariwisata dan sektor lainnya justru memicu kebingungan dalam pemanfaatan pendapatan daerah yang diperoleh.

“Sektor pariwisata seharusnya kembali menjadi prioritas dalam efisiensi pemanfaatan TKD. Tapi ini juga harus didukung dengan penguatan strategi ekonomi lintas sektor,” tambahnya.

Ia menekankan pentingnya restrukturisasi anggaran berdasarkan skala prioritas yang disesuaikan dengan keunggulan daerah. Hal ini, kata Santana, menjadi kunci agar program pusat tetap bisa dilaksanakan secara efektif di daerah meskipun alokasi TKD mengalami penurunan.

Baca juga:  Hadir di Lomba Barong Ket PKB 2025, Wapres Gibran Sapa Penonton

Senada dengan itu, pengamat ekonomi dari FEB Universitas Udayana, Putu Krisna Adwitya Sanjaya, S.E., M.Si. menilai, kondisi ini bisa menjadi momentum reflektif bagi pemerintah daerah.

“Ini saat yang tepat untuk introspeksi. Jangan hanya terpaku pada kebijakan klasik seperti menaikkan PBB (pajak bumi dan bangunan) atau PKB (pajak kendaraan bermotor). Daerah harus kreatif mencari sumber pendapatan alternatif berbasis potensi lokal yang belum tergarap,” tegasnya.

Menurutnya, kepala daerah dan organisasi perangkat daerah (OPD) harus berani mengambil langkah-langkah inovatif untuk menjadikan potensi tersembunyi sebagai motor penggerak baru ekonomi daerah.

“Dengan terobosan yang tepat, meskipun terjadi dinamika TKD, roda pembangunan tetap bisa berjalan dan kesejahteraan masyarakat tetap meningkat,” ucap Krisna.(Dika/balipost)

BAGIKAN