Alat berat sedang membongkar bangunan akomodasi pariwisata di Pantai Bingin, Pecatu, Badung, Senin (8/9). Pemerintah membongkar sejumlah bangunan akomodasi pariwisata di lokasi ini karena melanggar aturan dan tata ruang Provinsi Bali serta Kabupaten Badung. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pesatnya perkembangan pariwisata di Bali Selatan membuat masifnya pembangunan penunjang, termasuk tempat tinggal. Kawasan hulu juga kini dipenuhi bangunan dengan dalih pariwisata alam.

Menurut Pengamat Pariwisata Prof. Dr. I Putu Anom, B,Sc.,M.Par., Selasa (16/9), sekitar sungai makin banyak dipenuhi bangunan terutama hotel dan vila hingga glamping yang kian marak. Pohon banyak ditebang yang membuat hutan menjadi gundul.

Intensitas hujan yang tinggi akan memberi dampak pada pembangunan yang tak terbendung ini dan terjadilah fenomena banjir bandang yang menelan korban hingga kerugian materi.

Baca juga:  Diplomasi Arak Bali Gubernur Koster, Millennium Challenge Corporation Janji Fasilitasi Pemasaran Internasional

“Jika kita lihat banjir juga terjadi di Jembrana yang notabena penduduk tidak banyak. Ini karena  di hulu hutan banyak ditebang. Apalagi di Denpasar dan Badung dampak yang dirasakan pasti luar biasa,” ujarnya.

Menurutnya wacana terkait moratorium alih fungsi lahan ini tentu sangat bagus namun harus didorong realisasinya, sehingga bukan sekadar wacana.

Pembangunan harus dihentikan tertutama akomodasi parwisata kini banyak yang dibangun di bantaran sungai. Terutama di kawasan Ubud dan sekitarnya ke utara. Banyak akomodasi pariwisata yang memanfaatkan tebing. “Dia mengambil view sungai sehingga tebing dipakai. Tapi bukan di atas saja, sampai bawah mendekati sungai,” ungkapnya.

Baca juga:  Bali Tak Masuk, Luhut Sebut Ini Wilayah Jalani PPKM Level 3 Mulai Besok

Secara keilmuan, ungkap Guru Besar Universitas Udayana ini, memiliki aturan dan kini sudah dilanggar. PR besar bagi pemerintah untuk menangani ini, tidak saja persoalan macet, sampah dan keamanan dan kini ada persoalan banjir yang harus ditangani.

Mulai dari hulu hingga hilir. Pembangunan harus dihentikan selanjutnya bangunan yang sudah berdiri selama ini dilakukan evaluasi apakah sudah mendapatkan izin.

“Tahun 1990-an saya sudah pernah ngomong, terutama di Ubud kan biasa di pinggir sungai bikin penginapan. Dulu baru sedikit masih aman. Namun kini sudah makin banyak, ke depan bisa ambrol itu semua,” katanya.

Baca juga:  Jual Pil Koplo, Dipidana Empat Tahun

Hal senada juga diungkapkan Pengamat Pariwisata lainnya, Nyoman Sukma Arida. Pembangunan akomodasi yang begitu pesat ini tanpa dibarengi dengan perhitungan kebutuhan jumlah kamar.

Pembangunan menurutnya seakan tidak terbedung. “Semestinya angka ketercukupan akomodasi itu yang harus dijawab dulu melalui riset yang serius. Saat ini kesannya serba boleh, obral perizinan mesti melabrak RTRW. Kalau aturannya jelas dan ditegakkan tidak akan ada pembangunan akomodasi yang ugal-ugalan,” imbuhnya. (Widiastuti/bisnisbali)

BAGIKAN