
DENPASAR, BALIPOST.com – Aksi demo rakyat dengan tuntutan ingin membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuat. Hal ini terlihat dari gelombang aksi unjuk rasa yang dilakukan di depan Gedung DPR RI pada 25 Agustus 2025.
Demo ini merupakan ekspresi kekecewaan publik yang memuncak terhadap anggota DPR yang dianggap tidak aspiratif, terlibat kasus korupsi, hingga mengeluarkan kebijakan yang kontroversial. Namun di balik tuntutan aksi tersebut, membubarkan DPR tidak semudah yang dibayangkan.
Berdasarkan referensi hukum yang dihimpun Balipost online, Selasa (26/8), jalan panjang harus dilewati jika ingin membubarkan DPR. Apalagi dilakukan secara konstitusional, langkah itu pun mustahil.
DPR merupakan Lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 hasil amandamen. Posisinya setara dengan presiden, yang sama-sama dipilih oleh rakyat. Maka, keberadaan DPR tidak bisa dihapuskan atau dibubarkan begitu saja, termasuk oleh presiden sendiri, kecuali dengan perubahan UUD.
Aksi demonstrasi menuntut pembubaran DPR lebih pada tekanan politik sebagai bentuk ekspresi kekecewaan rakyat. Hal itu dikarenakan rakyat telah jenuh dengan akumulasi dosa-dosa DPR di era reformasi ini.
Data yang dihimpun dari berbagai berita media, maka dosa-dosa DPR menurut publik yang memantik pembubaran, meliputi:
1. Skandal korupsi
Setelah era reformasi, banyak anggota DPR terseret kasus korupsi. Seperti kasus e-KTP, bansos, suap proyek, dan sebagainya.
Oknum anggota DPR kerap kali masuk dalam daftar lembaga negara dengan tingkat kepercayaan publik yang rendah.
2. Produk legislasi yang kontroversial
Salah satu tugas DPR adalah membuat Undang-undang. Namun produk legislasi yang dihasilkan dianggap lebih banyak menguntungkan investor dari pada buruh, sebagaimana lahirnya UU Cipta Kerja (Omnibus Law).
Kemudian revisi UU KPK yang justru dinilai melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Demikian pula wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang sempat direspons negatif.
3. Tidak mengakomodasi aspirasi rakyat
Selain produk legislasi yang dihasilkan banyak kontroversial, RUU yang dibuat dan dibahas dianggap tidak mewakili kebutuhan masyarakat.
Surat rakyat yang disampaikan sering diabaikan saat pembahasan UU yang penting.
4. Kinerja legislasi rendah
Kinerja legislasi juga menuai sorotan dengan indek yang rendah.
Seringkali RUU yang aspiratif mandek di meja DPR. Sedangkan yang lolos justru RUU yang kontroversial.
5. Fasilitas mewah dan gaya hidup elite
Gelombang protes yang besar akhir-akhir ini adalah perihal adanya fasilitas mewah yang diterima oleh DPR. Anggaran besar untuk gaji, tunjangan dan fasilitas dinilai tidak sebanding dengan kinerja yang minim.
Bahkan, dalam anggaran rencana renovasi Gedung DPR atau pembelian fasilitas baru kerap menuai kritik.
6. Pernyataan dan sikap yang kontroversial
Beberapa anggota DPR kerap juga mengeluarkan pernyataan blunder, meremehkan kritik publik. Hal ini mengesankan mereka lebih mementingkan politik atau partainya dibandingkan rakyatnya.
Walaupun dari akumulasi faktor-faktor tersebut diatas membuat Sebagian rakyat marah hingga menyerukan pembubaran DPR, namun tidak serta merta aksi tersebut bisa langsung diwujudkan tanpa perubahan UUD.
Pembubaran DPR atau menggantinya dengan lembaga lain melalui mekanisme Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) dengan melakukan amandeman UUD 1945. Namun, itu pun membutuhkan persetujuan mayoritas besar anggota MPR (1/3 anggota MPR).
Dari kajian hukum, kedudukan DPR dalam sistem ketatanegaraan, sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Kedudukannya setara dengan presiden karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.
Bahkan, Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Satu-satunya jalur yang bisa ditempuh secara hukum untuk membubarkan atau mengubah kedudukan DPR adalah amandemen UUD 1945 oleh MPR, dengan mekanisme, diusulkan sekurang-kurangnya 1/3 anggota MPR, Rapat dihadiri minimal 2/3 anggota MPR, putusan sah bila disetujui sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 dari seluruh anggota MPR.
Namun, jika dipaksakan dilakukan pembubaran melalui tekanan politik, maka akan berimplikasi hukum sebagai pelanggaran konstitusi yang berdampak pada krisis ketatanegaraan dan instabilitas politik.
Bentuk ekspresi publik yang ingin membubarkan DPR, realitanya dapat dilakukan melalui jalan penguatan partisipasi rakyat berupa pemilu. Rakyat bisa mengganti wakilnya secara demokratis melalui pemilu yang diselenggarakan, untuk memilih wakil yang lebih berkualitas.
Jika terjadi pelanggaran etik yang dilakukan DPR, maka rakyat dapat menempuh upaya jalur Makamah Kehormatan Dewan (MKD). Sedangkan dalam hal dugaan korupsi, ditempuh melalui penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK, Kejaksaan, Kepolisian, untuk melakukan penindakan kasus korupsi atau pidana. (Agung Dharmada/balipost)