
Oleh Dr. Iwan Asmadi, SE, MM
Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang diterbitkan Gubernur Bali pada 6 April 2025 lalu sejatinya berangkat dari tujuan mulia: menciptakan Pulau Dewata yang bebas sampah.
Namun, di balik niat baik itu, terdapat satu titik lemah yang paling krusial yakni ketentuan sanksi dan mekanisme pengawasan yang tidak hanya problematis secara hukum, tetapi juga berpotensi menabrak undang-undang dan merusak iklim investasi di Bali.
Dalam kerangka hukum Indonesia, SE bukanlah produk hukum yang mengikat publik. Ia bersifat administratif internal, hanya berlaku bagi unit kerja di bawah kewenangan pembuatnya. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU tersebut bahkan tidak pernah menyebutkan SE sebagai produk hukum. Kedudukan SE bukan sebagai produk hukum dipertegas lagi oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 6 P/HUM/2020 yang menyatakan bahwa SE tidak dapat menimbulkan akibat hukum bagi masyarakat karena dia bukan peraturan perundang-undangan.
Putusan ini seharusnya dijadikan rujukan atau pegangan oleh Gubernur Bali Wayan Koster sebelum melarang produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter melalui SE. Apalagi SE sampai menetapkan sanksi yang sangat tegas kepada pelaku usaha, mulai dari pencabutan izin usaha hingga sanksi moral berupa publikasi di media sosial bahwa mereka tidak ramah lingkungan.
Sanksi ini diarahkan pada hotel, restoran, kafe, produsen air minum dalam kemasan (AMDK), dan pusat perbelanjaan yang tidak patuh pada SE. Masalahnya, sanksi seperti ini hanya bisa dijatuhkan melalui regulasi yang memiliki legitimasi hukum seperti Peraturan Gubernur (Pergub) atau Peraturan Daerah (Perda), bukan melalui SE.
Dengan kata lain, secara hukum, sanksi dalam SE ini bersifat ultra vires alias melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang kepada pembuatnya. Alhasil, tindakan ini dianggap tidak sah dan tidak mengikat secara hukum. Individu yang melakukan tindakan ultra vires dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi, termasuk kemungkinan gugatan perdata.
Tak hanya UU nomor 12 tahun 2011 yang dilanggar, Kebijakan yang diatur melalui SE tersebut juga menabrak UU Cipta Kerja. Ancaman pencabutan izin usaha tanpa dasar hukum yang jelas ditambah publikasi negatif bagi pelaku usaha yang melanggar imabauan tersebut membuat kacau iklim investasi di Bali.
Kondisi ini menciptakan ketidakpastian hukum karena investor dapat merasa terancam oleh sanksi yang lahir dari imbauan tertulis yang secara teoritis bisa diubah sewaktu-waktu oleh pembuatnya. Secara hukum, pencabutan izin usaha hanya dapat dilakukan jika diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sah seperti Pergub, Perda, PP, atau UU.
Dampaknya, investor yang sudah ada bisa menunda ekspansi atau bahkan mengurangi operasi karena khawatir terhadap sanksi sepihak. Calon investor baru akan memandang Bali sebagai lokasi investasi berisiko tinggi karena kebijakan daerah dapat melenceng dari jalur hukum formal, dan reputasi daerah akan merosot di investment climate index, yang pada akhirnya menurunkan aliran modal masuk ke Bali.
Investor, baik lokal maupun asing, membutuhkan regulasi yang jelas, prosedur yang transparan, dan sanksi yang diatur oleh peraturan perundang-undangan resmi. SE dengan sanksi sepihak membuka peluang gugatan, baik di ranah administrasi maupun perdata, karena dianggap merugikan secara tidak sah.
*Pengawasan Tanpa Dasar dan Tanpa Kepastian*
Kelemahan lain adalah absennya mekanisme pengawasan yang jelas. SE ini berlaku sejak hari penetapannya, 6 April 2025, tanpa memberikan masa transisi yang wajar. Artinya, semua pihak dari desa adat, lembaga pendidikan, hingga pelaku usaha secara teori harus langsung mematuhi ketentuan dalam SE tersebut.
Pertanyaannya, siapa yang mengawasi? Apakah pemerintah daerah memiliki sumber daya manusia dan sistem yang memadai untuk memantau ribuan pelaku usaha di seluruh Bali hingga ke level terkecil? Lebih problematis lagi, SE tidak mengatur indikator objektif untuk menilai ‘kepatuhan’ atau ‘pembatasan’ yang dilakukan. Celah ini membuat pengawasan rawan menjadi subjektif bahkan diskriminatif.
Jika SE dengan sanksi semacam ini dibiarkan, kita sedang membuka pintu bagi praktik pemerintahan yang mengabaikan prinsip rule of law. Kebijakan publik tidak boleh lahir dari instrumen yang lemah secara hukum, apalagi jika menyangkut larangan dan sanksi yang mempengaruhi hajat hidup banyak orang.
Masalah sampah memang mendesak, tetapi penanganannya harus dilakukan melalui regulasi sah yang disusun dengan kajian mendalam, partisipasi publik, dan masa transisi yang realistis. UU nomor 12 Tahun 2011 sudah jelas mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. UU Cipta Kerja menuntut pemerintah menjamin kemudahan berusaha bukan mempersulitnya. Mengabaikan kedua rambu ini bukan hanya salah kaprah, tapi juga merugikan daerah sendiri. (*)
Penulis, Pengamat Kebijakan Publik