
TABANAN, BALIPOST.com – Ketekunan Imam Kambali (46) dalam mengolah sampah membuahkan hasil luar biasa. Warga yang telah menetap selama 16 tahun di Kabupaten Tabanan, tepatnya di Desa Denbantas, ini berhasil mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM) melalui proses pirolisis. Inovasi ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru dari sampah yang selama ini dianggap tak bernilai.
Imam Kambali, pria asal Desa Wanasalam, Jombang, Jawa Timur, mulai menetap di Bali sejak 2008. Kepeduliannya terhadap pengelolaan sampah plastik berawal dari kondisi anak keduanya yang menderita asma, diperparah oleh aktivitas pembakaran sampah di lahan kosong yang dibiarkan semalaman. Hal ini mendorong bapak lima anak ini mencari solusi untuk mengatasi persoalan sampah, khususnya plastik, yang jika dibiarkan bertahun-tahun dapat mencemari lingkungan.
Terkait pengolahan sampah plastik menjadi BBM, Imam menjelaskan, prosesnya dilakukan melalui pirolisis atau penguraian plastik pada suhu tinggi. Dari proses ini, ia mampu menghasilkan tiga jenis BBM: solar, minyak tanah, dan bensin.
Proses diawali dengan memilah sampah plastik. Jenis plastik seperti PET, VVC, dan PC dipisahkan karena tidak cocok untuk pirolisis dan dikumpulkan untuk dijual ke pengepul plastik.
“Setelah dipilah, plastik yang bisa diurai kami masukkan ke dalam reaktor dan dipanaskan hingga meleleh menjadi gas. Gas ini kemudian dialirkan ke desilator dan diubah menjadi cairan. Hasil akhirnya bisa berupa solar, minyak tanah, atau bensin, tergantung pada suhu pengembunan,” jelasnya.
Selanjutnya, hasil cairan tersebut melalui proses pemurnian dalam tiga tahap, yakni pemanasan ulang, perlakuan kimiawi, dan pemisahan menggunakan sentrifugal. Dari 10 kilogram plastik kering dan bersih, Imam dapat menghasilkan sekitar 9 liter BBM. Minyak tanah hasil olahan dijual Rp10.000 per liter atau setengah dari harga pasaran. BBM hasil olahan ini juga ia manfaatkan untuk kendaraan pribadi dan mesin penggiling kotoran kambing.
“Saya sudah pakai sendiri selama enam bulan ini. Tidak ada masalah. Sekarang saya mulai riset untuk solar,” ujarnya.
Meski proses masih dilakukan secara sederhana dan mandiri dengan peralatan buatan sendiri, Imam mengaku telah menghabiskan dana riset hingga Rp40 juta, yang sebagian diperoleh dari penjualan minyak tanah dan pupuk kompos.
Bahkan, di awal percobaannya Imam sempat mengalami insiden ledakan kecil. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya. Ia terus menyempurnakan proses pengolahannya secara bertahap dengan belajar melalui literatur dan video daring.
Untuk bahan baku, Imam bekerja sama dengan SD Negeri 2 Denbantas yang mengalami kesulitan dalam membuang sampah. Ia mengambil sampah dari sekolah itu setiap 4-5 hari, dan memilahnya menjadi organik dan nonorganik. Sampah plastik juga ia peroleh dari Banjar Dukuh Buahan.
“Sejatinya, jika ada yang membawa sampah plastik ke rumah saya, saya siap menampung,” tegasnya.
Tak hanya fokus pada pengolahan plastik, Imam juga mengelola sampah organik menjadi pupuk dan media tanam. Ia menyewa lahan seluas tiga are untuk membangun pertanian terintegrasi. Di lahan tersebut ia menanam pepaya menggunakan media tanam dari lemari es bekas, serta menanam lidah buaya dan tapak dara. Tanaman dijual dengan harga Rp20.000 hingga Rp50.000 per pot. Ia juga memproduksi pupuk kompos seharga Rp15.000 per 5 kg, dan menjual ikan nila. Hasil penjualan dari pengolahan sampah organik ini bisa mencapai Rp1 juta per bulan.
Kini Imam membuka peluang kerja sama dengan sekolah-sekolah lain yang ingin mengelola sampah secara mandiri. “Masih bisa menampung dari 3-4 sekolah lagi. Bahkan saya juga siap menerima pengolahan sampah dari rumah tangga, perkantoran, instansi pemerintah, desa adat, maupun banjar,” imbuhnya.
Menurut Imam, jika semangat pengelolaan sampah terus digaungkan, maka sampah bukan lagi menjadi limbah yang perlu dikhawatirkan, melainkan bisa menjadi berkah bagi lingkungan, ekonomi, dan masa depan yang lebih bersih. (Puspawati/Balipost)