Suasana Pura Dang Kahyangan Mertasari yang diempon oleh Desa Adat Dauhwaru. (BP/Istimewa)

NEGARA, BALIPOST.com – Desa Adat Dauhwaru yang merupakan salah satu dari empat desa pangempon Pura Dang Khayangan Mertasari, melakukan persiapan menjelang pujawali yang jatuh setiap Anggara Kasih Prangbakat. Desa Adat Dauhwaru pada pujawali, 23 Juli 2025 ini mendapat giliran selaku panyangra (panitia). Sejumlah persiapan telah dilakukan melibatkan tiga desa adat lainnya, Desa Adat Lokasari, Desa Adat Batuagung dan Desa Adat Kertajaya Pendem.

Sekretaris Panitia Pelaksana, I Ketut Wik Smara Yasa mengatakan untuk persiapan pujawali telah dimulai sejak awal Juli dengan menggelar paruman melibatkan panyangra dan tiga desa adat pangempon lainnya. Disepakati untuk pelaksanaan akan mengenakan uron-uron krama di desa adat pangempon dengan perkiraan anggaran yang terkumpul sekitar Rp80 juta.

“Kita sepakati uron-uron di krama empat desa adat pangempon, untuk pelaksanaan pujawali saat ini panyangra Desa Adat Dauhwaru,” ujar Wik Smara yang juga Wakil Bendesa Dauhwaru tersebut. Pura Dang Khayangan Mertasari berada di Lingkungan Mertasari, Kelurahan Loloan Timur, Jembrana.

Pura ini diperkirakan berdiri bersamaan dengan Desa Mertasari pada 1857 lalu. Wilayah desa itu terbagi menjadi tiga yang disebut Tri Mandalaning Desa. Utama Mandala untuk lokasi pura terletak di Timur Laut (di hulu), Madya Mandala untuk lokasi permukiman di tengah-tengah dan Nista Mandala terletak di pinggir barat dan selatan serta untuk setra dan lahan pertanian.

Baca juga:  Desa Adat Padangsambian Perbaiki Total Pura Kahyangan Tiga

Awalnya bangunan palinggih di pura tersebut hanya satu beratap ijuk maperucut di-sungsung oleh krama Subak Mertasari yang juga merupakan krama desa. Setiap habis musim panen, krama subak itu menghaturkan Sarin Tahun berupa dua ikat bulir padi. Konon bukan hanya krama Subak Mertasari saja yang maturan, melainkan ada yang juga dari Kerambitan, Tabanan.

Seiring dengan temuan sejarah pura ini oleh almarhum Ida Pedanda Gede Sunu dari Gria Megati, Batuagung, Jembrana dan penelitian Parisadha Hindu Bali hasil pesamuan di Campuhan Ubud, Gianyar maka pura ini termasuk Dang Khayangan, karena berkaitan erat dengan kedatangan Danghyang Nirartha dan bermukim di sini bertahun-tahun pada paruh kedua abad ke-14 Masehi atau sekitar tahun 1480-an.

Beliau mengajarkan sistem pertanian persawahan ala Majapahit di samping mengajarkan tatacara beragama Hindu berdasarkan Siwa-Budha. Waktu itu masyarakat Jembrana masih menganut aliran Budha Kalacakra yang memuja Bhairawa dan bersifat uraga Pati.

Di Mertasari, di samping mengajarkan ilmu pertanian,  beliau juga mengajarkan ilmu berdagang dan ilmu pengobatan. Sebagai wujud bhakti pada ilmu yang diberikan pada masyarakat, dibangun Pura Mertasari, Pura Lesung Bata dan Pura Telaga Taman. Pada tiga pura inilah masyarakat memohon agar pertanian subur, bahkan konon  ketika terjadi serangan  hama walang sangit dan tikus, serta hama lainnya Subak Mertasari, tidak mengalami serangan hama.

Baca juga:  Minggu, Pujawali Pura Dasar Buana Gelgel Dimulai

Demikian halnya ketika muncul wabah penyakit cacar yang menyerang seluruh Jembrana tahun 1957, Mertasari merupakan desa yang paling bebas dari penyakit itu. Penduduk Mertasari tak satupun yang terjangkit, padahal ketika itu sampai diadakan upacara  pangerapuh baik di setra maupun di sema di Jembrana, yang menandakan bahwa terjadi wabah penyakit besar atau luas.

Pada tahun 1984, status pura ini ditetapkan sebagai Dang Khayangan dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II nomor 164/B.X/E.I/1984. Dua tahun kemudian, ditetapkan 6 desa adat dalam kota Negara sebagai pangempon yakni, Desa Adat Lokasari, Kelurahan Loloan Timur, Desa Adat Kerthajaya, Kelurahan Pendem, Desa Adat Puseh Agung, Kelurahan Banjar Tengah dan Desa Adat Baler Bale Agung, Kelurahan Baler Bale Agung.

Berjalannya waktu, kini pengempon berganti dengan tetap berjumlah empat desa, yakni Desa Pakraman Lokasari, Desa Pakraman Kerthajaya Pendem, Desa Pakraman Batuagung dan Desa Pakraman Dauhwaru.

Saat ini bangunan-bangunan di Pura ini sudah dipugar. Sejak tahun 1986 hingga tahun 1994, fisik pura dipugar secara bertahap. Pura lama dipelaspas 31 Januari 1995. Bangunan pura saat itu masih sangat sederhana dengan lahan yang sangat terbatas yakni sekitar 12,20 are. Tahun 2002, luas tanah diperluas secara bertahap hingga saat ini luas pura 63,40 are.

Di atas lahan itulah, Pura yang berada di dekat permukiman penduduk ini dilakukan pemugaran menyeluruh. Dengan memohon petunjuk kepada penglisir Geria Pitha Maha di desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar Ratu Aji Bagus Putra (almarhum) dan para Pedanda Siwa-Budha seluruh Bali, panitia dan pengempon pura beberapa kali tangkil dipimpin oleh Ida Pedanda Gede Buruan, Batuagung. Selanjutnya dilakukan pembersihan lapangan bekas kebun kelapa, pengukuran berdasarkan sukat penugrahan Ida Bhatara Sakti Wawu Rawuh di Utama Mandala.

Baca juga:  Selama 5 Bulan, 7 Kasus Pelecehan Seksual Anak Terjadi di Jembrana

Saat ini di Utama Mandala terdapat sejumlah palinggih dan bangunan, di antaranya Palinggih Taksu, Palinggih Meru Tumpang Dua Ulun Danu, Padmasana, Palinggih Dewa Ayu Manik Galuh, Palinggih Meru Tumpang Tiga, Palinggih Anglurah.

Di tengah-tengah terdapat Palinggih Papelik. Selain itu di sekeliling Utama Mandala juga terdapat bangunan Bale Banten, Bale Gita, Bale Piasan, Gedong Busana serta Bale Panca Rsi.  Sementara Kori Agung  dilintasi ketika memasuki areal Utama Mandala ini. Tembok Panyengker sudah mengelilingi areal Pura hanya saja belum semuanya finishing berbahan batu.

Di Madya Mandala, baru ada satu bangunan yakni Bale Kulkul lainnya baru sebatas pengurukan dan pengerasan tanah. Rencananya akan ada empat bangunan, di antaranya Bale Pesandekan, Bale Gong, Pasraman Pemangku dan Dapur Suci.  Sementara di Nista Mandala juga baru Wantilan dan toilet. Rencananya di areal ini juga akan dilakukan penataan lahan parkir. (Surya Dharma/balipost)

BAGIKAN