Desa wisata
Membajak sawah atau metakap merupakan salah satu fasilitas wisata di Desa. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tradisi metekap bukan sekadar kegiatan mengolah sawah. Ia adalah wujud gotong royong agraris yang menyatu dengan budaya dan spiritualitas masyarakat Bali.

Dalam tradisi ini, lembu bukan hanya alat bantu, tapi juga simbol ketekunan, keharmonisan, dan hubungan manusia dengan alam.

Berikut 5 fakta menarik seputar tradisi metekap di Bali:

1. Warisan Leluhur yang Masih Bertahan

Tradisi metekap adalah teknik membajak sawah dengan bantuan sepasang lembu atau kerbau. Alat bajaknya, biasa disebut “pengarak”, dibuat dari kayu dan dikendalikan langsung oleh petani. Meski kini traktor modern semakin umum, tradisi ini masih dijumpai di wilayah seperti Gianyar, Tabanan, hingga Buleleng.

Baca juga:  Satpol PP Denpasar Rutin Laksanakan Pendisiplinan PPKM Level II

2. Bukan Sekadar Bertani, Tapi Upacara

Dalam beberapa kesempatan, metekap dilaksanakan beriringan dengan upacara “nunas tirta” atau “nunas panglukatan” di sawah. Hal ini memperlihatkan bahwa aktivitas pertanian di Bali tak lepas dari nilai sakral. Tanah dianggap hidup, dan pengolahan tanah menjadi bagian dari ritual menyambut musim tanam.

3. Gotong Royong yang Memperkuat Rasa Komunitas

Masyarakat yang masih menjalankan metekap biasanya melakukannya secara “ngayah”, bergantian membantu sawah satu sama lain. Tradisi ini memperkuat rasa kebersamaan, karena sawah dikerjakan secara kolektif, lalu dilanjutkan dengan “megibung” atau makan bersama di pematang sawah.

Baca juga:  Tradisi Menyambut 1 Suro, Sejumlah Desa Gelar Gerebek Tumpeng

4. Daya Tarik Wisata Budaya

Beberapa desa seperti Jatiluwih dan Tegallalang mulai memperkenalkan tradisi ini sebagai bagian dari atraksi wisata budaya. Wisatawan diajak mencoba membajak sawah dengan lembu, mengenakan pakaian petani, dan merasakan langsung kerasnya kehidupan tani Bali tempo dulu.

5. Simbol Perlawanan terhadap Mekanisasi Penuh

Bagi sebagian petani, mempertahankan metekap bukan sekadar pilihan romantis. Ini adalah cara menjaga keberlanjutan tanah dan menjaga agar ekosistem mikro sawah tetap lestari. Lembu yang digunakan akan menghasilkan pupuk alami, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. (Pande Paron/balipost)

Baca juga:  Kasus Korupsi, Kasi Kajian Dampak Lingkungan DLHK Denpasar Diadili
BAGIKAN