Warga ngelawar saat penampahan Galungan, Selasa (23/7). (BP/wan)

Pelestarian adat dan budaya Bali kini menjadi perhatian serius pemerintah Bali. Di antaranya, pelestarian aksara/tulisan Bali, bahasa Bali, dan busana adat Bali. Tentu hal ini merupakan hal positif dan patut didukung, di tengah gempuran berbagai adat dan budaya luar. Persaingan ekonomi juga menjadi ancaman tersendiri dalam pelestarian tradisi (adat dan budaya) Bali. Salah satunya, tradisi ngayah.

Gotong royong di banjar maupun di pura atau tempat suci ini, ajang bagi krama setempat untuk bisa saling mengenal satu sama lain sekaligus memupuk dan mempererat persaudaraan. Namun, sejalan perkembangan waktu, jumlah peserta mulai menurun.

Banyak warga desa (terutama generasi mudanya) kini tidak lagi menggeluti sektor pertanian yang memungkinkan memiliki waktu lebih untuk ngayah. Sebagian (besar) warga kini memilih bekerja sebagai karyawan, baik pegawai negeri maupun swasta, yang sangat terikat dengan jam/waktu kerja.

Baca juga:  Bersinergi Selamatkan Desa Pakraman

Mereka umumnya hanya dapat jatah  cuti 12 hari dalam setahun. Ini harus mereka bagi dan manfaatkan betul untuk kepentingan keluarga dan adat/banjar (ngayah dan sebagainya).

Dilema pun dihadapi krama, terutama yang di perantauan. Jika mereka jarang ngayah (ke banjar atau ke pura), mereka akan menjadi pergunjingan. Tidak jarang kondisi ini berujung sanksi sosial seperti kasepekang.

Sementara jika mereka harus selalu ikut ngayah, peluang yang ada diambil pendatang. Daya saing tenaga kerja (SDM) Bali pun disorot lemah. Padahal, tenaga kerja Bali sangatlah unggul dan kompetitif. Terbukti, banyak SDM Bali yang sukses dan diakui di luar daerah bahkan luar negeri.

Menyikapi kondisi ini, seharusnya konsep ngayah itu dikembalikan sebagai yadnya yang dilakukan secara tulus ikhlas. Dalam artian, ketika sebagian krama tidak bisa ngayah,  mereka yang bisa ngayah harus menerimanya dengan tulus ikhlas.

Baca juga:  Mengembalikan Roh Pariwisata Bali

Tidak seperti yang sering terjadi, krama yang mayadnya ngayah malah mempergunjingkan (ngerumpi) mereka yang tidak bisa ngayah. Bahkan, sangat tragis dan ironis kadang  hal ini sampai berbuntut sanksi sosial seperti kasepekang (dikucilkan).

Semestinya, mereka yang tidak bisa ngayah, diberi kesempatan mayadnya dengan kompensasi berupa materiil. Bisa dalam bentuk pemogpog (iuran) atau aturan (material yang diperlukan dalam upacara). Jika ngayah untuk gotong royong membangun pura (tempat suci) misalnya, bukankah punia dari krama bisa mendukung hal itu?

Janganlah ada pemikiran, mereka yang punya waktu untuk ngayah juga bisa membayar (pemogpog/punia) lalu memilih sengaja ikut tidak ngayah. Alangkah mulianya dan besar pahala yang diberikan Tuhan jika semua bisa ngayah sekaligus mapunia.

Baca juga:  Barong Ngunya, Ngelawang Agung di Serokadan

Dengan begitu, adat, tradisi, dan budaya Bali tetap ajeg tanpa menurunkan daya saing SDM Bali. Tradisi, adat, dan budaya bisa ditinggalkan jika dinilai tidak relevan lagi dan justru membebani pendukung kebudayaan itu sendiri.

Waktu akan mengubah tradisi serta adat dan budaya yang tidak sesuai lagi dengan zamannya. Karena budi dan daya (manusia) sebagai cikal bakalnya kebudayaan terus berkembang dan berubah.

Tentu yang diharapkan, perubahan yang tidak hanya menguatkan tradisi, adat, dan budaya Bali. Tetapi, juga menguatkan daya saing manusia (SDM) Bali sebagai pendukung utama budaya Bali. Budaya akan hilang jika manusia sebagai pendukung utamanya hilang.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *