Ilustrasi melahirkan. (BP/Ant)

DENPASAR, BALIPOST.com – Di balik kelahiran seorang bayi dalam masyarakat Bali, tersimpan keyakinan mendalam bahwa sang bayi bukan hanya makhluk baru, tetapi juga perwujudan jiwa yang telah hidup sebelumnya.

Untuk itu, masyarakat Bali mengenal sebuah tradisi sakral bernama Metundikan, sebuah upacara untuk “menanyakan” siapa yang datang kembali ke dunia ini.

Berikut lima hal menarik seputar tradisi Metundikan yang masih lestari hingga kini:

1. Dilakukan Beberapa Hari Setelah Bayi Lahir

Upacara Metundikan biasanya dilakukan pada hari ke-3, ke-5, atau ke-7 setelah kelahiran bayi. Waktu pelaksanaan ditentukan berdasarkan tradisi keluarga dan hasil petunjuk dari orang suci seperti pemangku atau sulinggih.

Baca juga:  Jual Buah Segar, Pemprov Bali dan PT. GGF Jalin Kerjasama

Tujuannya adalah menyambut sang bayi secara niskala, tidak sekadar lahir secara jasmani, tetapi juga menyadari siapa sejatinya roh yang kembali berinkarnasi.

2. Menanyakan Siapa yang “Datang Kembali”

Inti dari Metundikan adalah menanyakan siapa roh yang lahir kembali dalam diri sang bayi. Masyarakat Hindu Bali percaya akan siklus reinkarnasi (punarbhawa), di mana jiwa seseorang bisa terlahir kembali ke keluarga yang sama atau lingkungan yang dekat.

Baca juga:  Sesetan Putuskan Pawai dan Melasti Tetap Berlangsung

Melalui prosesi ini, pemangku akan mencoba “berkomunikasi” secara spiritual untuk mendapatkan petunjuk tentang identitas leluhur tersebut.

3. Dipandu oleh Pemangku atau Sulinggih

Upacara ini dipimpin oleh pemangku atau sulinggih yang memiliki kemampuan niskala untuk membaca pawisik atau getaran spiritual. Dalam prosesnya, digunakan media seperti air suci, cermin, kelapa, atau dupa.

Kadang, nama leluhur yang kembali bisa muncul melalui mimpi orang tua bayi sebelum upacara, atau diungkapkan saat prosesi berlangsung.

4. Penuh dengan Simbol dan Banten

Baca juga:  Ribuan Masyarakat Munggu Tumpah Ruah Ikuti Tradisi Mekotek

Seperti upacara lainnya dalam adat Bali, Metundikan juga dilengkapi dengan banten seperti banten pejati, daksina, canang sari, dan tipat kelanan sebagai simbol penyucian dan penerimaan roh ke dalam lingkungan baru. Ini menjadi bentuk penghormatan terhadap tamu suci yang telah hadir ke dunia.

5. Simbol Penyambutan Jiwa dan Pengharmonisan Energi

Metundikan bukan hanya upacara spiritual, tetapi juga upaya harmonisasi antara buwana alit (mikrokosmos/bayi) dan buwana agung (makrokosmos/alam semesta). Jiwa yang kembali dihormati, didoakan, dan diharapkan membawa berkah serta kelanjutan nilai-nilai keluarga dan karma baik dari masa lampau. (Pande Paron/balipost)

BAGIKAN