Tradisi Gebug Ende yang masih dilestarikan warga Desa Pemuteran. (BP/Istimewa)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Di tengah pesatnya perkembangan Desa Pemuteran sebagai destinasi wisata bahari dan kawasan konservasi, masyarakat setempat tetap teguh menjaga warisan budaya leluhur. Salah satunya melalui pelestarian tradisi Gebug Ende, sebuah seni adu ketangkasan yang telah diwariskan secara turun-temurun sejak hampir seabad lalu.

Penglingsir Sekaa Gebug Ende Satru Prakanti, I Nyoman Sukanata, Minggu (14/12), mengisahkan bahwa tradisi Gebug Ende dibawa oleh para leluhur warga Pemuteran yang berasal dari Desa Seraya, Kabupaten Karangasem, sekitar tahun 1930. Saat itu, Desa Pemuteran belum terbentuk secara definitif dan baru resmi berdiri pada 1967.

Meski demikian, tradisi Gebug Ende sudah lebih dahulu dipraktikkan sebagai bagian dari adat masyarakat pendatang.

Baca juga:  Desa Adat Manggissari Jaga Potensi Perkebunan di Perbukitan Pekutatan

“Orang tua dulu membawa tradisi ini dari Seraya. Di Karangasem, Gebug Ende juga digelar untuk nunas hujan. Di Pemuteran tradisi ini berkembang karena sebagian besar warganya berasal dari sana,” ujar Sukanata.

Pada masa lalu, pementasan Gebug Ende biasanya dilaksanakan di perempatan desa atau di bawah taru ageng (pohon besar). Tradisi ini umumnya digelar pada bulan Januari atau sasih kepitu, ketika hujan tak kunjung turun.

Warga menyiapkan banten sebagai sarana ritual niskala, dan permainan baru dimulai setelah tirta dipercikkan ke arena.

Menurut Sukanata, pelaksanaan Gebug Ende kala itu dipimpin langsung oleh pihak yang menggelar upacara tanpa melibatkan pemangku khusus. “Yang mengadakan, dia yang memimpin,” jelasnya.

Baca juga:  Desa Adat Batusesa Gelar Upacara “Ngaben Massal”

Hingga kini, Gebug Ende masih dilestarikan dengan aturan yang ketat. Tahun lalu, tradisi ini digelar selama tiga hari berturut-turut di areal parkir Pura Pemuteran. Setiap pasangan tampil selama 3 hingga 5 menit dengan maksimal tiga kali pengulangan.

Pukulan ke area vital seperti kepala bagian atas, dada kiri, serta tubuh dari kemaluan ke bawah dilarang keras. Jika terjadi pelanggaran, saye atau petugas piket langsung menghentikan permainan.

Peralatan yang digunakan pun memiliki nilai historis tinggi. Tongkat rotan dan tameng dari kulit sapi merupakan warisan turun-temurun yang dirawat dengan serius. Karena sebagian peralatan sudah berusia tua, sekaa kini mulai membuat set baru untuk pemain dewasa, remaja, hingga anak-anak sebagai bagian dari upaya regenerasi.

Baca juga:  Buku Singgasana Battisi Takhta 32 Bidadari Ungkap Hubungan Historis India dengan Nusantara

Saat ini, Sekaa Gebug Ende Satru Prakanti memiliki sekitar 20 anggota, termasuk para penabuh gamelan.

Kini, Gebug Ende tidak hanya menjadi ritual adat warisan leluhur dari Seraya, tetapi juga telah menjelma sebagai ikon budaya Desa Pemuteran. Tradisi ini terus hidup, bergerak, dan tumbuh seiring komitmen masyarakat dalam menjaga identitas budaya di tengah arus perubahan zaman. (Nyoman Yudha/balipost)

BAGIKAN