Kunjungan kerja Komisi VII DPR RI ke Pembangkit Listrik Tenaga Diesel dan Gas (PLTDG) Pesanggaran PT. Indonesia Power Unit Pembangkitan (UP) Bali. (BP/istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali mandiri energi mengemuka pascapemadaman listrik (blackout) yang terjadi awal Mei 2025.

Namun, menurut Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Udayana, Prof. Ir. I Gusti Bagus Wijaya Kusuma, Ph.D, Selasa (13/5), untuk membangun pembangkit di Bali membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan transmisi dari Jawa ke Bali.

Ia mengatakan, untuk kemandirian energi Bali perlu membangun pembangkitnya. Dia menyarankan pembangunan PLTG bisa 900 MW di Bali Timur.

Baca juga:  Atasi Persoalan Adminduk, Desa Dinas dan Adat Harus Sinergi

Namun untuk membangun PLTG kata dia harus bisa memperoleh sumber gas baru. “Dan ini tidak mudah untuk 900 MW PLTG diperlukan 3.071 MMBTU/hour. Angka ini yang cukup tinggi dan harga gas dapat diperbaharui oleh berbagai faktor seperti pasar internasional, biaya transportasi dan regulasi pemerintah,” terangnya.

Dia menjabarkan, untuk biaya produksi listrik per kWh biaya NLG yang dibutuhkan sebesar Rp4.266. Jika harga listrik PLN Rp750 per kWh, maka akan rugi Rp3.516.

Baca juga:  Pelaku Penggelapan dan Pencurian Motor Ditahan di Gilimanuk  

“Bali dengan PLTG harus siap dengan BPP yang lebih tinggi, dibandingkan dengan BPP jaringan Jawa-Bali,” ungkapnya.

Sementara itu, berdasarkan data dari PLN Unit Induk Distribusi (UID) Bali, pasokan kelistrikan di Bali saat ini bersumber dari kabel laut (transmisi Jawa ke Bali) mencapai 270 MW, PLTU Celukan Bawang 380 MW, PLTG dan PLTD Pesanggaran 527,61 MW, PLTU Pemaron 80 MW dan PLTG Gilimanuk 130,44 MW sehingga total 1.388 MW.

Baca juga:  Korban Jiwa COVID-19 Bali Masih Bertambah, Kasus Baru Tunjukkan Tren Naik

Transmisi Jawa-Bali melalui kabel bawah laut yang mencapai 270 MW ini, sudah lebih kecil dibandingkan 2019 lalu yang mencapai 340 MW. (Widiastuti/bisnibali)

BAGIKAN