Seorang petani menyusuri pematang sawah sambil mengamati lahan tanam di wilayah Renon, Denpasar. (BP/Dokumen)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – Pernyataan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan mengenai tidak ada lagi vila yang dibangun di areal persawahan, nampaknya akan sulit ditegakkan. Bali Villa Association (BVA) menuding sistem yang diatur pemerintah pusat yaitu OSS memungkinkan perizinan berusaha tanpa memperhatikan kondisi lingkungan di daerah.

Menurut Ketua BVA Bali, I Putu Gede Hendra, Rabu (4/9), pernyataan tersebut kembali kepada regulasi dan aturan yang telah dibuat terutama sistem perizinan yang saat ini menggunakan sistem OSS. Sistem ini sangat memudahkan investor melakukan investasi di bidang akomodasi di Bali. Dengan demikian pembangunan akomodasi khususnya vila hanya menggunakan Nomor Induk Berusaha (NIB) berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). “Jadi segala usaha yang dibangun berdasarkan KBLI, maka OSS bisa mengeluarkan izin. Kalau kita melihat sebelum adanya OSS ini dibuat atau diterbitkan untuk memudahan investasi masuk yang dibuat oleh pusat dan ditetapkan oleh Presiden,” ujarnya.

Baca juga:  Tiga Hektar Lahan Pertanian di Bulian Terbakar

Diakuinya, sebelum OSS, perizinan untuk melakukan pembangunan atau berusaha di Bali disebut rumit karena ada tahapan proses yang harus dipenuhi. Seperti memiliki rekomendasi dari bawah, di lingkungan tempat vila akan dibangun seperti desa adat, persetujuan penyanding,  izin prinsip dan sebagainya. Meski rumit, namun menurutnya hal itu dapat menyeleksi bangunan yang akan dibangun.

“Sekarang adalah yang penting NIB terbit oleh sistem OSS yang mana sistem tidak berada di lingkungan areal atau wilayah pembangunan dilakukan, dan sudah bisa menjadi dasar melakukan usaha yang perlu tempat berupa fisik. Nah ini yang menyebabkan masifnya pembangunan yang ada di Bali,” ujarnya.

Maka dari itu regulasi yang dibuat oleh pemerintah pusat ini perlu direview atau dipikirkan kembali. “Kita tidak antiinvestasi dan tidak anti dengan kemudahan dari sistem OSS, hanya saja dampaknya terhadap lingkungan perlu dipikirkan. Ini pilihan, apakah ke depannya Bali akan seperti apa atau  memilih sebuah sistem yang memang benar menyeleksi atau menyaring yang memang bisa dibangun dan dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau,” bebernya.

Baca juga:  Anggaran Fasilitasi Pemilu 2019 di Klungkung Capai Rp 15 Miliar

Bagi dia, jika kualitas lingkungan menurun, maka akan berdampak terhadap masyarakat yang tinggal di Bali. Seperti diketahui, infrastruktur gorong-gorong atau bawah tanah Bali belum memadai, saluran selokan air belum baik untuk menampung air ketika hujan sehingga menyebabkan banjir ketika curah hujan tinggi.

Ketika infrastruktur itu belum memadai, maka yang bisa diandalkan adalah lahan hijau untuk menyerap air hujan yang hanya ada di pertanian dalam arti luas. “Itu yang dikhawatirkan ke depan. Regulasi yang ada saat ini apakah dilanjutkan atau diubah, hal ini tentu akan mempengaruhi pembangunan di Bali khususnya,” ujar I Putu Gede Hendra.

Baca juga:  Tepis Kesan Jadul, Ini Dilakukan Gerakan Pramuka

Ditambahkannya, kemudahan berinvestasi ini akan dimanfaatkan investor untuk mengubah lahan hijau beralih fungsi dengan dalih mengubah lahan menjadi produktif, sehingga mengubah lahan hijau yang tidak produktif menjadi bangunan yang mengubah area resapan menjadi betonisasi.

Ia berharap pemerintah pusat baik presiden, pembantu presiden, menteri dan perangkatnya perlu membuat kajian untuk 20, 50, 100 tahun ke depan. Kawasan yang benar-benar harus dipertahankan menjadi hijau yang mana sistem pun tidak bisa mengeluarkan NIB di daerah tersebut. “Jika tidak dihentikan, bisa dibayangkan Bali yang sejuk, hijau asri, akan hilang dan Goodbye Bali, Bali akan jadi kenangan. Wisatawan tentu akan berpindah ke tempat yang unik, nyaman lestari,” imbuhnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *