Prosesi upacara yang dilaksanakan masyarakat Desa Adat Manikliyu saat Galungan Mabunga. (BP/Istimewa)

BANGLI, BALIPOST.com – Hari raya Galungan yang jatuh pada Januari tahun ini terasa spesial bagi masyarakat Desa Adat Manikliyu. Sebab pada wuku Dungulan dimana Galungan dirayakan, terdapat rahinan purnama Sasih kapitu. Oleh masyarakat Manikliyu, disebut Galungan “Mabunga”.

Ada banyak rangkaian upacara yang digelar saat Galungan Mabunga. Di antaranya macaru dan malasti. Dilaksanakan juga tradisi matoh-tohan. Dalam tradisi itu, sekaa teruna di desa setempat adu kekuatan dalam sebuah kurungan yang disebut grombong.

Sebelum melakukan kegiatan tersebut sekaa truna nunas panugrahan ke Pura Dalem sedangkan sekaa daha ke Pura Puseh. Mereka kemudian mengitari api dalam satu malam mengikuti arah jarum jam sambil belajar menari api. Hal itu dilaksanakan sebagai simbol kehidupan.

Baca juga:  Pupuk Organik Dukung Nangun Sat Kerthi Loka Bali

“Rangkaian upacara Galungan Mabunga ini sudah mulai dilaksanakan sejak Sugimanik. Sebelum Galungan. Hari ini rangkaian dilanjutkan dengan prosesi metani. Dalam prosesi ini sekaa teruna berbaris di Pura Bale Agung. Sekarang masih berlangsung,” ungkap Bendesa Adat Manikliyu I Nyoman Jaga, Selasa (17/1).

Upacara yang dilaksanakan saat Galungan Mebunga menggunakan sarana hewan sapi dan babi. Sedangkan saat Galungan Nadi, menggunakan sarana kerbau atau misa. Jelas Jaga, Galungan Nadi adalah hari raya Galungan yang jatuh tepat pada rahinan purnama sasih kepitu. Baik galungan mebunga maupun Galungan Nadi sangat jarang bisa dijumpai masyarakat.

Baca juga:  Sapi Gerumbungan dan Mengarak Sokok Jadi WBTB Nasional

Jaga mengatakan terakhir kali masyarakat Manikliyu melaksanakan rangkaian upacara Galungan Nadi sekitar 52 tahun lalu. “Galungan mabunga ini terakhir dilaksanakan 13 tahun lalu,” terangnya.

Lanjut dikatakan bahwa tradisi dan upacara yang dilaksanakan masyarakat Desa Adat Manikliyu ini, diwarisi turun-temurun dari para leluhur masyarakat di Manikliyu. Tradisi dan upacara yang dilaksanakan ada tercatat pada prasasti manikliyu yang berangka 877 SM. “Secara umum makna dari upacara dan prosesi yang kami laksanakan adalah sebagai suatu persembahan kepada leluhur dan untuk memanjatkan puji syukur kehadapan tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas anugerah yang telah diberikan,” kata Jaga. (Dayu Swasrina/balipost)

Baca juga:  Hektaran Padi di Sulahan Diserang Blas
BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *