Petani melakukan panen kopi. (BP/Dokumen)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Musim panen kopi tahun 2022 ini, nampaknya tak membuat petani tersenyum sumringah. Pasalnya, hasil panen mereka tahun ini terjun bebas dibandingkan musim panen setahun yang lalu.

Rata-rata petani kopi di Bali Utara hanya mendapatkan hasil kebun kopi sebesar 20 persen saja. Untungnya, dari sisi harga jual kopi kering saat maish stabil, sehingga walau mendapat hasil namun bisa menutup modal yang telah dikeluarkan sebelumnya.

Seorang petani sekaligus Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Daerah (PD) Swatantra Buleleng Gede Boby Suryanto, Minggu (24/7) menuturkan, hampir sebagian besar petani kopi di Buleleng mengalami masalah yang sama. Di mana, pada masa panen tahun ini produksinya minim.

Seperti di Desa Pucak Sari, Sepang, Tista, dan Desa/ Kecamatan Busungbiu. Termasuk kebun kopi milik PD Swatantra pun mengalami persoalan serupa. Rata-rata hasil panen kopi tahun ini maksimal hanya 20 persen saja. “Di semua desa termasuk kebun kita (milik PD Swatantra-red) panen kopi anjlok. Jika sebelumnya, bisa dapat 100 kuwintal, sekarang hanya dapat 20 kuwintal saja,” katanya.

Baca juga:  Lima Kecamatan di Buleleng Belum Tersentuh Hujan Lebih dari 30 Hari

Menurut Boby, penyebab turunya produktivtas tanaman kopi bukan karena serangan hama dan penyakit. Akan tetapi, cuaca yang tak bersahabat membuat kopi tidak mampu berbuah maksimal. Dia mencontohkan, jika biasanya pada satu ranting, tiap gempong menghasilkan hingga ratusan biji kopi, tetapi sekarang tak sampai 10 biji saja untuk tiap gempong. Selain biji kopi yang minim pada setiap ranting, ukuran biji kopi pada masa panen ini juga kebanyakan kecil-kecil.

Bahkan, sangat jarang ditemukan pada bijinya berisi dua biji kopi. Selain itu, masa pematangan biji kopi juga tahun ini tak serempak. Pada 1 pohon itu bijinya tidak matang 100 persen. Justru biji yang matang itu hanya sebagian kecilnya saja. Bahkan, sering ditemukan pada 1 ranting kopi itu ada biji yang maish muda, padahal biji yang lannya sudah matang dengan ditandai warna kulit merah. Kondisi ini menyulitkan petani untuk melakukan panen dan dan banyak petani terpaksa memetik dengan istilah ngaud (panen 100 persen) dengan resiko kuwalitas kopi akan turun.
“Bijinya minim pada tiap gempong, jarang sekali bijinya yang lebih dari 1 seperti pada panen tahun-tahun sebelumnya, sehingga sangat sulit tahun ini kita mencari hasil sesuai harapan,” katanya.

Baca juga:  Cuaca Lembap, Pengepul Pilih Keringkan Kopi di Buleleng

Menurut Gede Boby, kondisi yang dialami petani kopi di Buleleng tahun ini dampak curah hujan tinggi dan berkepanjangan. Di mana, saat itu tanaman sedang berbunga kemudian memproduksi bakal biji, namun terjadi hujan dan intensitasnya sangat tinggi. Akiabtnya, tingkat kelembaban di lahan menjadi naik, sehingga bakal biji kopi sebagian besar busuk dan akirnya rontok. “Ini murni karena pengaruh alam, dan petani tak bisa berbuat banyak. Kalau saja tidak dilanda hujan berkepanjangan mungkin produksi kopi kita sama dengan tahun-tahun sebelumnya,” jelasnya.

Baca juga:  Okupansi Ubud Capai 90 Persenan

Di sisi lain, Gede Boby menyebut, meskipun produksi minim namun dari harga jual kopi untuk saat ini maish tergolong stabil. Kopi robusta kering laku dijual Rp 24.000 per kilogram. Demiikian juga untuk harga biji kopi mentah, saat ini rata-rata Rp 5.000 tiap kilogram. Untuk kategori harga biji kopi basah pada musim panen setahun lalu lebih murah yaitu Rp 4.200 per kilogramnya. “Semoga saja tahun depan cuacanya bersahabat dan petani bisa mendapat hasil maksimal dan bisa melakukan panen raya,” tegasnya. (Mudiarta/Balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *