Arsip Perdana Menteri Inggris Boris Johnson meninggalkan kediamannya di Downing Street, London, Inggris, 24 Maret 2021. (BP/Antara)

LONDON, BALIPOST.com – Pencabutan aturan pembatasan virus corona sebagai bagian dari strategi untuk “hidup berdampingan dengan COVID” akan ditetapkan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pada Senin (21/2). Langkah itu diambil Inggris untuk mencapai jalan keluar yang lebih cepat dari pandemi dibandingkan negara-negara ekonomi utama lainnya.

Ketika Hong Kong membangun unit isolasi dan Eropa mempertahankan aturan jarak sosial dan vaksinasinya, PM Johnson akan mengumumkan pencabutan persyaratan pandemi apa pun yang melanggar kebebasan pribadi. Ini dilakukan sehari setelah Ratu Elizabeth dinyatakan positif terjangkit virus corona.

Berdasarkan rencana yang telah disusun selama berminggu-minggu itu, Inggris akan menjadi negara besar pertama di Eropa yang mengizinkan orang-orang yang mengetahui diri mereka terinfeksi COVID-19 untuk secara bebas menggunakan layanan toko, transportasi umum, dan pergi bekerja.

Baca juga:  Mendag Rancang Aturan Mewajibkan Mini Market Memasok Komoditas ke Warung

Johnson pada Minggu (20/2) mengatakan bahwa dia tidak ingin orang-orang “berhenti berhati-hati” dan tidak ada alasan untuk berpuas diri. Namun, hal itu berarti pemerintah Inggris ingin beralih dari aturan wajib oleh negara menjadi tanggung jawab pribadi.

Dari populasi orang dewasa di Inggris, 81 persen di antaranya telah menerima suntikan dosis penguat (booster). “Hari ini akan menandai momen kebanggaan, setelah salah satu periode tersulit dalam sejarah negara kita, saat kita mulai belajar hidup berdampingan dengan COVID,” kata Johnson dalam sebuah pernyataan kepada parlemen Inggris, yang dikutip dari kantor berita Antara, Senin (21/2).

Baca juga:  Warren Buffett: 'Keajaiban Amerika" akan Memacu Pemulihan Ekonomi AS

Korban jiwa akibat COVID-19 di Inggris mencapai lebih dari 160.000 orang dalam periode 28 hari, rekor tertinggi kedua di Eropa setelah Rusia. Inggris juga melaporkan rata-rata sekitar 43.000 kasus baru COVID-19 dan 144 kematian per hari dalam sepekan terakhir.

Para pejabat kesehatan telah mendesak Johnson untuk tidak bersikap “gung-ho” (sangat antusias dan bersemangat tanpa berpikir) dalam persoalan kesehatan negara.

Selain itu, para penasihat pemerintah Inggris mengatakan bahwa pencabutan pembatasan dapat menyebabkan pertumbuhan epidemi yang cepat karena orang-orang mengubah perilaku mereka lebih cepat dari sebelumnya selama pandemi.

Sejauh ini pemerintah Inggris telah berusaha untuk menjaga ekonomi tetap terbuka dengan menggabungkan langkah pengujian cepat massal dan persyaratan wajib isolasi diri selama lima hari, sebuah pendekatan yang memungkinkan negara itu mengendalikan varian Omicron yang sangat menular.

Baca juga:  OJK Siapkan Sanksi Bagi PUJK Langgar Aturan Perlindungan Konsumen

Pemerintah Inggris mengatakan akan mempertahankan beberapa sistem pengawasan dan rencana untuk tindakan darurat jika varian baru virus corona muncul.

Pada Minggu (20/2), Johnson ditanya apakah dia mengambil risiko dengan (pencabutan aturan pembatasan) pandemi. Dia mengatakan pemerintah tidak dapat mempertahankan pengeluaran hingga mencapai 2 miliar paun (sekitar Rp38,68 triliun) per bulan untuk tes COVID.

Johnson juga mendapat tekanan dari banyak anggota Partai Konservatif-nya untuk mencabut aturan pembatasan COVID-19 yang mereka anggap kejam. (kmb/balipost)

BAGIKAN